Jumat, 30 Maret 2012

Resensi Film: Almost Famous (2000)

Suatu perjalanan penuh kebersamaan memang asyik untuk dikenang. Tapi tak mutlak demikian jika dilakukan oleh sebuah grup rock n roll yang tengah menjadi sorotan jurnalis rekrutan sebuah majalah bernama besar. Mereka tengah dalam masa percobaan. Ketika era rock n roll mulai kian senja di awal 1970-an, ketika kekompakan mulai diuji oleh popularitas, ketika masing-masing anggotanya mulai menyadari kemunafikan. Walau penggalan kisah itu bukan titik awal plot Almost Famous, namun paling tidak itulah yang juga ingin dibagiceritakan oleh Cameron Crowe (“Vanilla Sky”).

Jika pernah menonton film perjalanan Little Miss Sunshine, maka Almost terasa lebih berisi dan kontekstual karena muatannya yang berdasarkan kehidupan “glamor” ala band rock n roll. Kita dibawa serta ke dalam pengamatan tokoh sang jurnalis yang brilian dan manly sekalipun masih bocah dan anak mami. Bergabungnya ia ke dalam rombongan bus sebuah grup rock n roll bukanlah suatu posisi terjebak, malahan disengaja. Ia suka musik-musik berjenis distortif, tapi tak berpenampilan ala fans rock. Di sini pula, Crowe secara elegan seolah-olah menyatakan “hanya karena aku suka music rock, bukan berarti gayaku harus urakan”.

Ada banyak konflik di dalam film ini yang masing-masing terbangun secara utuh, saling mengisi, dan berakhir manis. Semua dieksekusi Crowe dalam drama komedi menggiurkan. Saya agak menyesal karena baru tahu ada film bagus yang dilewatkan bertahun-tahun. Potret sosial blantika grup rock n roll di masa sekarat. Saya jadi melihat dimana groupies menjadi “sluts”, di samping mendengar sajian musik kala Led Zeppelin, Black Sabbath, The Who, dkk. sedang dalam masa jaya-jayanya. [B/A] 30/03/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar