Senin, 05 Maret 2012

Resensi Film: The Artist (2011)

Sudah diganjar piala kategori film terbaik di berbagai ajang penghargaan film tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi para calon penonton film ini. Hal itu pun berlaku bagi saya. Dalam iklan film bioskop jaringan XXI di koran harian lokal pun muncul panel bertuliskan (lebih-kurang) film ini hitam-putih dan tanpa dialog di atas gambar muka The Artist. Mungkin pihak manajemen bioskop coba mengantisipasi komplain jenis pelanggan mereka yang itikadnya mengemil pop-corn sambil nonton film.

Sejak detik pertama saya menyimak film ini, sebenarnya bukan mutlak sensasi film monokrom musikal nyaris bisu yang saya dapatkan seperti bayangan sebelum menontonnya. Mengapa? Karena (1) gambarnya terbilang rapi dan bergaya serta (2) musiknya mewah dan jernih. Jangan khawatir dengan pembebanan interpretasi dialog dalam adegan tiap adegan karena akan ada transkrip penuh secara berkala acapkali terjadi percakapan penting. Yang saya nikmati sejak awal adalah alunan musik klasiknya yang bak mengantar kita mengalir di atas sungai indah dalam perahu kayu berukir indah dari hulu ke hilir sembari nikmati kesejukan hawa alam.

Ceritanya memang tak begitu orisinil, singkatnya ya persis apa kata sinopsisnya yakni ketika satu bintang meredup dan ada bintang lain sedang bersinar. Mereka dipertemukan takdir. Wuih, puitis banget ya kesannya. Yang sedang meredup adalah aktor gaek film bisu, sedangkan yang sedang bersinar adalah aktris menjanjikan era awal film bicara. Mereka bertemu dalam fase transisi perfilman bisu ke bicara sekitar era 1930-an. Yang satu mulai ditinggalkan sedang yang lainnya mulai digandrungi. Tentu terjadi konsekuensi dramatis di situ, yang mana nantinya ide direkatkan kembali dengan formula “umum” film yakni cinta.

Saya pikir tak berlebihan kiranya jika dalam Oscar 2012 film The Artist mendapatkan predikat film terbaik di samping beberapa penghargaan lainnya yang tak kalah utama seperti nominasi penyutradaraan. Kejayaannya merupakan kemenangan sinematik. Sebuah film tentang dinamika perfilman untuk perfilman. Salut untuk sang sutradara yang setelah saya browsing sepintas sebenarnya belum banyak menelurkan karya fenomenal. Yang mahal di sini adalah konsep dan keberaniannya untuk melangkah ke arah eksperimentasi secara logis. Bayangkan saja, kenapa tak sejak beberapa tahun lalu muncul film seperti ini? Strada yang karyanya mengumbar adegan seks meyakinkan sudah segudang. Mungkin sudah terpikirkan oleh strada-strada macam Lars von Trier, Michael Winterbottom, Quentin Tarantino, sekalipun sampai Wong Kar Wai… tapi sebuah ide tanpa eksekusi tentu takkan jadi sebuah produk. [A] 04/03/12

NB.
Generasi alay bin eksis pun bisa enjoy film monokrom, 99% bisu ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar