Minggu, 25 Maret 2012

Resensi Film: Super SIze Me (2004)

Saya jadi ingat ketika dulu pernah direkomendasikan film ini oleh seorang teman kuliah supercerdas yang sekarang sedang menempuh program doktoral di Belanda. Saya baru sempat menontonnya sekarang. Sebuah dokufilm tentang eksperimen diet menu McDonald’s selama 30 hari oleh stradanya sendiri yang entahlah dia seorang filmmaker atau bukan. Latar belakang eksperimen lebih mengacu pada variabel kesehatan. Dalam pengamatan di lapangan, obesitas menjadi momok besar di USA. Sedang tahu sendiri obesitas akan menurunkan beragam penyakit mulai dari yang ringan sampai dengan yang kronis.

Sebelum masuk tahap treatment, si “kelinci percobaan” sekaligus observan dan strada film (wuih, hebat betul ya merangkap-rangkap posisi) diperiksa kondisi kesehatannya sebagai patokan atas variable-variabel yang dimungkinkan terjadi perubahan-perubahan nilai nantinya selama treatment berlangsung dan berakhir. Kadar kolesterol, trigliserit, dkk pun fluktuasi psikologis menjadi konsekuensi yang akan diamati sepanjang film di samping serba-serbi tempelan lainnya seperti tuntutan terhadap McD atas gangguan kesehatan masyarakat, orientasi kapitalistik korporasi, dan berbagai isu investigatif lainnya.

Sebagai sebuah film dokumenter, Super agak bias bagi saya karena terlampau banyak tempelan padahal benang merahnya adalah eksperimentasi makan masakan McD selama 30 hari. Akankah membahayakan atau malah menyehatkan? Simpelnya seperti itu. Namun, hal itu tak tergarap secara mendalam malahan lebih asyik bermain di tataran investigatif yang mana hasilnya juga kurang memuaskan. Mengapa saya berharap lebih mendalam ya bukan lain karena sebenarnya secara apriori kita sudah mengetahui jawaban eksperimen film ini. Tak perlu lagi bukti empiris lugas yang mencelakakan.

Secara keseluruhan, walaupun muatannya provokatif film ini kurang memaknai lebih mengingat audiensnya pun sudah tahu bahwa makan-makanan fast-food junk-food memang tak sehat. Film dokumenter selalu bernilai lebih bagi saya karena informatif dan bermuatan positif. Tapi kalau konsepnya kurang bernas, pastilah jauh dari kata memuaskan. Kalau saya bilang, Super tak punya faktor-X yang membuatnya semenarik-kenes ala lagu “Iwak Peyek”. [C] 25/03/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar