Jumat, 16 Maret 2012

Resensi Film: The Adventures of Tintin (2011)

Dulu semasa SD saya mengenalnya hanya sebagai tokoh kartun berambut pirang berjambul khas ditemani seekor anjing setia dan penyelamat bernama Snowy yang ditayangkan di SCTV saban sore. Saya tak pernah tertarik menontonnya karena kisahnya terkesan dewasa (baca: susah dimengerti) lantaran saya tak doyan baca buku sekalipun komik Jepang pun layar stasiun SCTV cukup bersemut di pesawat TV keluarga kami saat itu karena tinggal di Banyuwangi yang notabene stasiun relainya ikut Denpasar. Deritaku!

Ialah Tintin. Dan saya tertarik menontonnya sekarang, karena yang menyutradarainya Spielberg—seburuk-buruknya karya Spielberg selalu ada jaminan purnatonton—dan teman saya yang tak suka Spielberg dan doyan nonton pun menganggapinya cukup positif. Petualangan si jurnalis-detektif ini sekarang berkutat menguak misteri kapal Unicorn. Bermula ketika Tintin membeli sebuah replika kapal layar elok khas kejayaan maritim abad ke-16 bernama Unicorn di sebuah pasar. Setelah replika kapal jatuh ke tangannya, tiba-tiba ada seseorang yang datang tergopoh-gopoh bilang hati-hati dengan barang itu. Ia mengisyaratkan bahaya besar akan mengancam Tintin selama memilikinya. Teranglah Tintin bukannya panik, naluri investigasinya malah membuatnya kian penasaran. Setelah itu, bertubi-tubi kejanggalan menghampiri Tintin. Mulai dari seorang konglomerat yang memaksa membeli replika Unicorn dari Tintin sampai tercurinya replika itu dari flat. Dan petualangan pun terus bergulir sampai pengujung film…

Swer, saya tak begitu enjoy dengan latar belakang petualangannya. Terlalu besar untuk dilakukan seorang Tintin bersama anjing dan beberapa tokoh lainnya ditambah lagi film ini tak memberi ruang kenalan dengan Tintin dkk. bagi penonton yang belum familiar dengan mereka. James Bond saja belum tentu punya misi seperti cerita film ini. Yang bikin lebih terasa aneh lagi adalah karena film kartun CGI ini visualisasinya nyaris sempurna dengan grafis yang sadis, maka berasa hampir macam kita menonton bukan film animasi. Yah, banyak juga sih sebenarnya kartun berteknologi secanggih itu. Tapi saya bilang yang satu ini meyakinkan. Nah, karena saking miripnya dengan gambar alami polesanan lembut Photoshop makanya saya rasa agak janggal ketika sederet adegan komikal divisualisasikan, seperti: bangunan hotel yang bias anjlok berpindah dari ketinggian ke pinggir pantai dan sebagainya. Menurut daya imajinasi saya hingga saat ini, hal-hal bombastis seperti itu lebih cucok dan sensasional kalau disajikan dalam kartun 2D. Sekarang sebagai perbandingan, coba deh seandainya ada Tom & Jerry dilakoni binatang asli dengan segala adegan irasionalnya?

Di luar keluhan saya di atas, saya acungi jempol untuk seluruh tim divisi aspek teknis film yang membuat saya bisa nikmati rentetan gambar-gambar memukau pengundang decak kagum dan heran. Jika saja ceritanya lebih meyakinkan dengan sentuhan tambahan pesan moral di sana-sini, film ini potensial jadi buah bibir. [B-] 16/03/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar