Minggu, 25 Maret 2012

Resensi Film: Extremely Loud & Incredibly Close (2011)

Tak terhitung jumlahnya berapa banyak film berlatar tragedi sejarah telah, sedang, dan akan diproduksi. Abad ke-20 menyumbangkan Perang Dunia I & II, sedangkan abad ke-21 ada 9/11 runtuhnya gedung pencakar langit kembar WTC di New York. Semoga takkan ada lagi tragedi sejarah destruktif masif yang menyusulnya. Kali ini ada sebuah novel yang diangkat dalam judul sama ke sebuah film yang akhirnya ikut masuk jajaran kategori film terbaik Oscar.

Kisahnya setipe dengan film-film petualangan bocah mencari pesan umumnya, sebut saja salah satunya Stolen Summer. Bedanya, Extremely mengaitkannya dengan efek dramatis Tragedi 9/11. Tom Hanks dan Sandra Bullock, duo peraih Oscar, memerankan ortu seorang bocah rasional bernama Oskar dengan “kelainan” psikologis yang entahlah apa itu namanya, kalau tak salah Asperger (googling saja kalau ingin tahu lebih lanjut). Ia serba kalkulatif, rasional, dan takut celaka sehingga derit bunyi sekecil apapun kalau dirasa mengancam pun bisa membuatnya merasa tak nyaman.

Di hari bersejarah kelam ketika WTC rontok ditabrak pesawat bajakan teroris, sang ayah tewas menjadi korban. Oskar yang sangat dipahami dan dekat dengan sang ayah sangat terpukul dan kehilangan. Setahun sepeninggal ayahnya, ia memberanikan diri membuka lemari sang ayah dengan harapan mengobati rasa kangen dan mendapati pesan. Secara tak disengaja, ditemukan olehnya sebuah kunci amplop yang tersimpan di dalam vas biru. Ia pikir benda itu termasuk pesan dari ayahnya yang bakal mendekatkan ia terhadap sang ayah.

Sebombastis itulah premis dasar cerita Extremely. Biasanya semua yang klise dan bombastis takkan jadi masalah bagi saya jika dikemas secara apik, menarik, dan provokatif. Nah, yang ini stradanya juga menjanjikan dan sudah tak asing dengan nominasi Oscar (Stephen Daldry, “The Hours”, "The Reader"). Yang saya rasakan sejak awal film adalah narasi Extremely terlalu dominan dari sudut pandang Oskar. Penonton maunya disetir, terang agak malaslah karena kita sebagai penonton apabila terlalu diikat oleh ego karakter tanpa terbangun simpati juga akan tidak dapat ikatan emosional. Segala deskripsi emosionalnya sepanjang film cukup representatif, seperti olah sinematografi yang mempertontonkan gejolak panik dan pemanfaatan sudut-sudut kecil pada adegan sederhana seperti mengintip lewat bawah pintu. Cukup menghiaslah.

Sepanjang Anda tipikal orang yang tidak bosanan, maka film ini bisa menjadi buah manis khas Hollywood yang siap mengantar pada sensasi haru berkaca-kaca dan rasa lega humanistis. Namun, jika Anda mudah terbosankan yah pastinya film ini extremely untolerable to You. Sebuah fiksi yang jelas terasa lebih menggelora dalam media novelnya. [B] 24/03/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar