Film
keluarga berirama santai menentramkan telah saya dapatkan lagi lewat
film ini. Berkisahkan seorang ayah membeli sebuah rumah di pedalaman
demi lari dari bayang-bayang kepergian mendiang isteri tercinta. Yang
dibelinya bukan sebuah rumah biasa, melainkan bekas kebun binatang
yang telah lama mangkrak.
Awalnya ia ragu akan membeli rumah tersebut, namun puteri terkecilnya
nampak bersenang hati tinggal di situ. Jadilah ia membeli sebuah
rumah bekas kebun binatang itu dengan binatang dan
kru-pengelola-setia yang masih cukup lengkap. Sekali lagi, secara
keseluruhan Zoo
mengangkat
tema pengobatan diri atas masa lalu demi membuka hati dan pikiran
untuk pintu masa depan.
Zoo
memilih jalan naratif habis sebagai metode penguraian plotnya, tak
saya dapati kandungan deskriptif berarti. Menilik karya-karya si
strada, Cameron Crowe, sebelumnya semisal Vanilla
Sky
maka Zoo
terkesan
sangat ringan dan renyah. Betapa tidak, film ini banyak memakai
formula umum film-film keluarga dalam konstruksinya. Katakanlah
seperti babak-babak macam gurauan slapstik yang memperlihatkan
kekikukan luar biasa seorang ayah berperan ganda. Untungnya si Matt
Damon melakoninya secara wajar, tak hiperbolik, sehingga tak sampai
membuat film ini jatuh ala karya-karya klasik Jim Carrey.
Satu
sorot utama sekaligus mantra pikatan utama bagi saya terhadap Zoo
adalah musik latar dan lagu pilihan dari Jonsi, musikus Islandia.
Menjadikan adegan pembuka film mampu gaet minat saya. Kondisi macam
ini paling tidak pernah saya rasakan ketika menonton Forrest
Gump
dan Road
to Perdition.
Suguhan musik dari Jonsi sebenarnya tak begitu monumental, lebih pada
membangkitkan gairah lewat racikan pas. Baiklah, untuk sebuah film
keluarga khas liburan Zoo
saya bilang paket komplit oke punya. Untuk sebuah karya pemuas dahaga
ajang penghargaan atau selera kritikus film, Zoo
mending
pergi ke laut aja. [B] 24/06/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar