Minggu, 24 Juni 2012

Resensi Film: We Bought a Zoo (2011)


Film keluarga berirama santai menentramkan telah saya dapatkan lagi lewat film ini. Berkisahkan seorang ayah membeli sebuah rumah di pedalaman demi lari dari bayang-bayang kepergian mendiang isteri tercinta. Yang dibelinya bukan sebuah rumah biasa, melainkan bekas kebun binatang yang telah lama mangkrak. Awalnya ia ragu akan membeli rumah tersebut, namun puteri terkecilnya nampak bersenang hati tinggal di situ. Jadilah ia membeli sebuah rumah bekas kebun binatang itu dengan binatang dan kru-pengelola-setia yang masih cukup lengkap. Sekali lagi, secara keseluruhan Zoo mengangkat tema pengobatan diri atas masa lalu demi membuka hati dan pikiran untuk pintu masa depan.

Zoo memilih jalan naratif habis sebagai metode penguraian plotnya, tak saya dapati kandungan deskriptif berarti. Menilik karya-karya si strada, Cameron Crowe, sebelumnya semisal Vanilla Sky maka Zoo terkesan sangat ringan dan renyah. Betapa tidak, film ini banyak memakai formula umum film-film keluarga dalam konstruksinya. Katakanlah seperti babak-babak macam gurauan slapstik yang memperlihatkan kekikukan luar biasa seorang ayah berperan ganda. Untungnya si Matt Damon melakoninya secara wajar, tak hiperbolik, sehingga tak sampai membuat film ini jatuh ala karya-karya klasik Jim Carrey.

Satu sorot utama sekaligus mantra pikatan utama bagi saya terhadap Zoo adalah musik latar dan lagu pilihan dari Jonsi, musikus Islandia. Menjadikan adegan pembuka film mampu gaet minat saya. Kondisi macam ini paling tidak pernah saya rasakan ketika menonton Forrest Gump dan Road to Perdition. Suguhan musik dari Jonsi sebenarnya tak begitu monumental, lebih pada membangkitkan gairah lewat racikan pas. Baiklah, untuk sebuah film keluarga khas liburan Zoo saya bilang paket komplit oke punya. Untuk sebuah karya pemuas dahaga ajang penghargaan atau selera kritikus film, Zoo mending pergi ke laut aja. [B] 24/06/12    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar