Rabu, 06 Juni 2012

Resensi Film: Carnage (2011)

Belum pernah saya tonton sebelumnya film hasil adaptasi drama panggung berseting di satu tempat saja. Beberapa yang saya ingat rata-rata berpindah set, semisal salah satunya Doubt. Film arahan strada gaek Roman Polanski (The Pianist, The Ghost Writer) berbintang 4 artis watak (Jodie Foster, John C. Reilly, Christoph Waltz, Kate Winslet) ini awalnya cukup menarik. Saya sempat ketawa spontan di beberapa adegan, tapi lama-kelamaan…

Kisahnya berputar pada adu argumentasi antarpasangan ortu. Penyebab berseterunya mereka adalah sebuah masalah “sederhana” antaranak mereka di sekolah. Satu merasa dianiaya, lainnya merasa dihina. Set tunggal diambil di sebuah ruang apartemen ketika salah satu pasangan ortu bertamu adakan upaya rekonsiliasi. Bukan percakapan mulus yang terjadi, malahan berkali-kali mereka masuk-keluar rumah (baca: tak jadi-jadi pulang) karena terus eyel-eyelan. Lantas, apa poin utama yang ingin disampaikan dari film ini? Sejauh yang saya tangkap, drama Carnage berusaha memaparkan konflik ide di dalam kerangka kepura-puraan, kepalsuan hidup, dan cenderung ke kemunafikan.

Dalam film ini, satu pasangan ortu diperankan Jodie Foster-John C. Reilly. Pasangan ortu lainnya yakni Kate Winslet-Christoph Waltz. Semua saya kasih tepuk tangan. Lebih-lebih ketika Winslet sempat memuntahi meja tamu berisikan tumpukan koleksi seni kesayangan Foster. Yang agak overakting di sini malah Foster, namun dapat dimaklumi karena ia berperan menjadi pecinta kedamaian yang terkungkung oleh lingkungannya, frustrasi berekspresi, maka membuatnya histeris. Bravo untuk permainan Reilly dan Waltz, terutama bagi Waltz yang konsisten tampil dingin. Hanya saja sempat aneh ketika personalitasnya mencolok berubah drastis sewaktu ponsel miliknya dibuang sang isteri ke vas bunga berisikan air. Memang, suguhan permainan akting dalam Carnage teramat melimpah.

Meskipun berdurasi nyaman, 80-an menit, menyaksikan film akrobat cekcok antarortu dalam sebuah ajang katarsis norak ini tetap menyisakan siksa bagi saya. Tak ada solusi hingga akhir, jika (katakanlah) sebuah mispremis ditawarkan. Hanya ikrar, “ini hari terburuk sepanjang hidupku” yang diamini keempat karakter utamalah yang jadi menu penutupnya. Tentu saya tak ikut-ikutan sebombastis bilang demikian. Namun, saya takkan berargumen ketika ada penonton bilang, “ini film terburuk yang pernah saya tonton”. [C+] 06/06/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar