Alur
film berjalan maju-mundur, namun tak rumit. Penonton masih gampang
memahaminya. Di samping itu, film ini terkesan tak begitu ngoyo.
Layaknya kita mendengar sebuah jalinan cerita dari seorang teman
tukang ngobrol, bukan seperti kita membaca artikel koran atau majalah
yang sejatinya singkat, lugas, padat tapi nyatanya tak sedikit malah
membuat pembacanya harus berkali-kali membaca ulang kalimat yang
telah lalu. The Lady hampir-hampir lebih menyerupai sensasi sewaktu
kita menonton mini seri macam Band of Brothers atau sejenisnya.
Salvo
untuk Michelle Yeoh! Interpretasinya terhadap tokoh Suu Kyi sungguh
sangat bisa diterima. Kekuatan film ini, kalau saya pikir,
terletak pada kasting. Dua pemeran utama yakni Suu Kyi dan suaminya
memuaskan. Mereka perlihatkan jalinan asmara nan dewasa penuh
pengertian. Adegan ketika Suu Kyi menyanjung suaminya saat santai
kala sore hari berdiri di atas balkon setelah sekian lama terpisah
dengan mengucap, (lebih-kurang begini…) “engkau suami tersabar
dalam sejarah”, sempat membuat saya tersenyum dalam artian
kocak-romantis.
Kalau
ditimbang dari aspek historis, mungkin The Lady masih berekanan
dengan film-film roman tokoh historis lainnya macam The Queen, The
Iron Lady, dkk. Mudah
sekali tuk terinspirasi dengan tokoh macam Suu Kyi. Oleh karenanya,
film ini tak perlu hiperbolik diceriterakan dan Luc Besson nyaris
mengemasnya tanpa bumbu penguat drama berarti. Justru itu telah
menjadikan film ini terasa lumayan. [B] 09/06/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar