Jumat, 15 Juni 2012

Resensi Film: Soegija (2012)

Sejak The Artist, baru kali ini saya menonton film di bioskop lagi. Alasan saya sekarang untuk pergi ke bioskop bukan lain karena tidak menemukan hasil unduhan filmnya di warnet. Tolong hal ini jangan dicontoh karena menurut tafsir kalangan neoliberal maka saya ini tergolong penikmat setia hasil pelanggaran hak karya cipta/intelektual. Nah, khusus untuk Soegija ini saya punya alasan spesial. Bukan karena film ini hasil buah tangan strada nasional kelas wahid (baca: menginternasional) Garin Nugroho, bukan karena sinopsis, bukan karena diajak teman, melainkan (hanya) karena ingin lihat aksi teman kuliah saya yang juga pemain teater—mantan ketua Teater Gadjah Mada (unit kelompok mahasiswa pecinta teater di kampus biru Jogja).

Bicara tentang cerita, saya takkan berpanjang-lebar. Ia mengisahkan perjuangan diplomasi uskup pertama asal pribumi bernama Soegijapranata. Bagaimana ia memahami arti sebuah kepemimpinan dan menerapkannya di tengah fase krisis: kolonisasi Hindia-Belanda, pendudukan Jepang, dan agresi militer. Walaupun pada mulanya saya berencana tak begitu menggubris selain hal-hal yang sifatnya performa teman kuliah saya, namun hasrat menikmati karya sinematik secara utuh tetap menyerang saya.

Plot. Saya bingung pada konsep dasar suguhan Garin ini. Dikatakan film sejarah, ia lemah. Riset artistik saya rasa (menimbang secara batiniah karena tanpa riset) kurang, mengingat aspal-aspal jalanan sudah nampak sebegitu mulusnya. Pemilihan bahasa komunikasi pun ada yang terkesan anakronis. Saya sempat dengar dialog kecil seorang tokoh di film ketika sedang menawarkan bantuan, ia berucap seperti halnya seorang pegawai bank sedang melayani pelanggan penuh keramahan. Di samping itu, jika ditilik judul filmnya maka sepintas di benak kita akan muncul kesan bahwa film ini mengisahkan tentang Soegija, semacam biopik atau sejenisnya.

Namun yang kita dapati dalam Soegija jauh bias daripada yang saya sampaikan di atas. Selain jarang tampil, Soegija pun tak cukup berkontribusi dalam keseluruhan plot film. Karakternya hanya menempel. Bahkan filmnya lebih banyak menceritakan fragmen-fragmen kehidupan di sekitarnya. Tentang pasangan beda bangsa saling cinta, tentang ibu-anak terpisah, tentang bagaimana semangat nasionalisme diartikan oleh masyarakat sipil dan tentara amatir, dsb. Terlalu banyak porsi tambahan yang dijejalkan membuat saya melihatnya jadi lebih tak karuan.

Hiburan yang dapat saya terima bisa dihitung: (1) dapat melihat akting bagus teman kuliah—ia memerankan karakter bernama Maryono—juga para pendatang baru lainnya; (2) iringan musik nan merdu; dan (3) beberapa pengambilan gambar cukup panoramik dan syahdu. Saya paham bahwa film berbujet sekitar 12 miliar rupiah ini bertujuan mengangkat kembali arti keteladanan pemimpin dalam bingkai belajar pada sejarah. Namun, amat sangat disayangkan… saya tak mendapatkan itu. Minimal paling tidak saya tadinya membayangkan akan mampu mengutip sebuah kalimat atau mendiskusikan satu saja momen bersejarah. Yang terjadi setelah keluar gedung bioskop malahan saya dan dua teman saya mendiskusikan tentang keanehan film yang baru saja ditonton. Satu konsensus didapat, “nanggung”.

Ketika menonton karya legendaris Garin, Daun di Atas Bantal, saya dibuat bingung-suka. Bingung karena narasinya tak kuat, suka karena tema sosial mampu diangkat secara telanjang di situ. Untuk yang saya sebut terakhir ini, Garin memang masih setia. Dalam Soegija beberapa nuansa papa berbasis budaya lokal pun terbangun khidmat. Lelucon-lelucon yang diangkat juga sangat khas. Saya sebenarnya juga berharap bahwa Garin akan coba bernarasi kuat melalui film ini, karena penasaran jadinya akan seperti apa. Minimal seperti langkah Luc Besson menghadirkan The Lady. Tapi Garin berkehendak lain…

Soegija, penawaran jamuan prasmanan beraneka menu dengan resep aman dari chef Garin. Maaf, Om Garin… Saya tiba-tiba tak lapar, saya ambil minumannya saja. [C] 15/06/12  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar