Sejak
The
Artist, baru
kali ini saya menonton film di bioskop lagi. Alasan saya sekarang
untuk pergi ke bioskop bukan lain karena tidak menemukan hasil
unduhan filmnya di warnet. Tolong hal ini jangan dicontoh karena
menurut tafsir kalangan neoliberal maka saya ini tergolong penikmat
setia hasil pelanggaran hak karya cipta/intelektual. Nah, khusus
untuk Soegija
ini saya punya alasan spesial. Bukan karena film ini hasil buah
tangan strada nasional kelas wahid (baca: menginternasional) Garin
Nugroho, bukan karena sinopsis, bukan karena diajak teman, melainkan
(hanya) karena ingin lihat aksi teman kuliah saya yang juga pemain
teater—mantan ketua Teater Gadjah Mada (unit kelompok mahasiswa
pecinta teater di kampus biru Jogja).
Bicara
tentang cerita,
saya takkan berpanjang-lebar. Ia mengisahkan perjuangan diplomasi
uskup pertama asal pribumi bernama Soegijapranata. Bagaimana ia
memahami arti sebuah kepemimpinan dan menerapkannya di tengah fase
krisis: kolonisasi Hindia-Belanda, pendudukan Jepang, dan agresi
militer. Walaupun pada mulanya saya berencana tak begitu menggubris
selain hal-hal yang sifatnya performa teman kuliah saya, namun hasrat
menikmati karya sinematik secara utuh tetap menyerang saya.
Plot.
Saya bingung pada konsep dasar suguhan Garin ini. Dikatakan film
sejarah, ia lemah. Riset artistik saya rasa (menimbang secara
batiniah karena tanpa riset) kurang, mengingat aspal-aspal jalanan
sudah nampak sebegitu mulusnya. Pemilihan bahasa komunikasi pun ada
yang terkesan anakronis. Saya sempat dengar dialog kecil seorang
tokoh di film ketika sedang menawarkan bantuan, ia berucap seperti
halnya seorang pegawai bank sedang melayani pelanggan penuh
keramahan. Di samping itu, jika ditilik judul filmnya maka sepintas
di benak kita akan muncul kesan bahwa film ini mengisahkan tentang
Soegija, semacam biopik atau sejenisnya.
Namun
yang kita dapati dalam
Soegija
jauh
bias daripada yang saya sampaikan di atas. Selain jarang tampil,
Soegija pun tak cukup berkontribusi dalam keseluruhan plot film.
Karakternya hanya menempel. Bahkan filmnya lebih banyak menceritakan
fragmen-fragmen kehidupan di sekitarnya. Tentang pasangan beda bangsa
saling cinta, tentang ibu-anak terpisah, tentang bagaimana semangat
nasionalisme diartikan oleh masyarakat sipil dan tentara amatir, dsb.
Terlalu banyak porsi tambahan yang dijejalkan membuat saya melihatnya
jadi lebih tak karuan.
Hiburan
yang dapat saya terima bisa dihitung: (1) dapat melihat akting bagus
teman kuliah—ia memerankan karakter bernama Maryono—juga para
pendatang baru lainnya; (2) iringan musik nan merdu; dan (3) beberapa
pengambilan gambar cukup panoramik dan syahdu. Saya paham bahwa film
berbujet sekitar 12 miliar rupiah ini bertujuan mengangkat kembali
arti keteladanan pemimpin dalam bingkai belajar pada sejarah. Namun,
amat sangat disayangkan… saya tak mendapatkan itu. Minimal paling
tidak saya tadinya membayangkan akan mampu mengutip sebuah kalimat
atau mendiskusikan satu saja momen bersejarah. Yang terjadi setelah
keluar gedung bioskop malahan saya dan dua teman saya mendiskusikan
tentang keanehan film yang baru saja ditonton. Satu konsensus
didapat, “nanggung”.
Ketika
menonton karya legendaris Garin, Daun
di Atas Bantal,
saya dibuat bingung-suka. Bingung karena narasinya tak kuat, suka
karena tema sosial mampu diangkat secara telanjang di situ. Untuk
yang saya sebut terakhir ini, Garin memang masih setia. Dalam Soegija
beberapa nuansa papa berbasis budaya lokal pun terbangun khidmat.
Lelucon-lelucon yang diangkat juga sangat khas. Saya sebenarnya juga
berharap bahwa Garin akan coba bernarasi kuat melalui film ini,
karena penasaran jadinya akan seperti apa. Minimal seperti langkah
Luc Besson menghadirkan The
Lady.
Tapi Garin berkehendak lain…
Soegija,
penawaran jamuan prasmanan beraneka menu dengan resep aman dari chef
Garin. Maaf, Om Garin… Saya tiba-tiba tak lapar, saya ambil
minumannya saja. [C] 15/06/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar