Kamis, 14 Juni 2012

Resensi Film: Fantastic Mr. Fox (2009)

Pada suatu ketika di sebuah negeri antah-berantah…
$#^%$%*&^*&^*%%^%^(*&^*$%#@
Cukup, cukup, cukup! Ini bukan kisah dongeng biasa. Karangan Roald Dahl (Charlie and the Chocolate Factory) selalu temukan tubrukan antara keriangan, kenakalan, dan keinsyafan. Penulis keturunan Norwegia ini mengemas Fantastic Mr. Fox dalam lilitan bungkus fabel atraktif. Naskah ciamik ini lalu diinterpretasi ulang secara eklektik oleh strada Wes Anderson. Si strada nampaknya tak hanya ingin meniru kesuksesan formula Pixar, Dreamworks, dsb., ia inginkan lebih dari itu dan lain. Saya sampai-sampai melihat kreasi Wes tak seperti kartun-kartun stop-motion pendahulu macam Chicken Run atau Wallace and Gromit. Film Fantastic Mr. Fox berbeda.

Awal filmnya memang kurang menggigit, tapi sudah ketahuan kalau film ini kreatif dan kuliahan (baca: bercanda pun tak sekadar slapstik). Berkisah tentang Mr. Fox, si rubah pencuri ulung di habitatnya yang mendadak tobat setelah tahu akan menjadi seorang ayah. Ia berjanji demikian kepada isterinya. Namun setelah si putera mulai beranjak remaja dan seorang keponakan dititipkan ke rumah tangganya, nafsu mencuri Fox spontan muncul lagi. Kalau Anda tak menonton secara lengkap filmnya, maka takkan paham mengapa tiba-tiba Fox khilaf.

Teknik fleksibel narasi Fantastic Mr. Fox cukup membangun suasana jenaka. Mulai ditempelnya subtitle adegan, sampai dengan lagu dan musik yang dipilih. Ibarat pendongeng, film ini takkan membuat pendengarnya terkantuk-kantuk. Ia justru membuat penasaran dan membangun antusiasme. Bukan tanpa alasan tentunya mengapa fabel dan mengapa rubah yang dipilih sebagai jenis karakter utamanya. Semua terjawab dalam film. Lebih jauh lagi, film ini pun tak lupa berisikan refleksi karakter manusia. Siapkan pelampung untuk antisipasi banjir pesan moral lewat satu babak kekhilafan. Seru, menggelitik, brilian. Suwer… film ini fantastis! [B+] 13/06/12  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar