Pada suatu ketika di sebuah negeri antah-berantah…
$#^%$%*&^*&^*%%^%^(*&^*$%#@
Cukup, cukup, cukup! Ini bukan kisah dongeng biasa. Karangan
Roald Dahl (Charlie and the Chocolate
Factory) selalu temukan tubrukan antara keriangan, kenakalan, dan
keinsyafan. Penulis keturunan Norwegia ini mengemas Fantastic Mr. Fox dalam lilitan bungkus fabel atraktif. Naskah
ciamik ini lalu diinterpretasi ulang secara eklektik oleh strada Wes Anderson.
Si strada nampaknya tak hanya ingin meniru kesuksesan formula Pixar,
Dreamworks, dsb., ia inginkan lebih dari itu dan lain. Saya sampai-sampai
melihat kreasi Wes tak seperti kartun-kartun stop-motion pendahulu macam Chicken
Run atau Wallace and Gromit. Film
Fantastic Mr. Fox berbeda.
Awal filmnya memang kurang menggigit, tapi sudah
ketahuan kalau film ini kreatif dan kuliahan (baca: bercanda pun tak sekadar
slapstik). Berkisah tentang Mr. Fox, si rubah pencuri ulung di habitatnya yang
mendadak tobat setelah tahu akan menjadi seorang ayah. Ia berjanji demikian
kepada isterinya. Namun setelah si putera mulai beranjak remaja dan seorang
keponakan dititipkan ke rumah tangganya, nafsu mencuri Fox spontan muncul lagi.
Kalau Anda tak menonton secara lengkap filmnya, maka takkan paham mengapa
tiba-tiba Fox khilaf.
Teknik fleksibel narasi Fantastic Mr. Fox cukup membangun suasana jenaka. Mulai ditempelnya
subtitle adegan, sampai dengan lagu
dan musik yang dipilih. Ibarat pendongeng, film ini takkan membuat pendengarnya
terkantuk-kantuk. Ia justru membuat penasaran dan membangun antusiasme. Bukan
tanpa alasan tentunya mengapa fabel dan mengapa rubah yang dipilih sebagai
jenis karakter utamanya. Semua terjawab dalam film. Lebih jauh lagi, film ini
pun tak lupa berisikan refleksi karakter manusia. Siapkan pelampung untuk
antisipasi banjir pesan moral lewat satu babak kekhilafan. Seru, menggelitik,
brilian. Suwer… film ini fantastis! [B+] 13/06/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar