Satu lagi bukti ketidakcocokan
saya dengan hasil konsensus para kritikus film terhadap sebuah karya. Sekuel
dari Sherlock Holmes-nya Guy Ritchie ini termasuk salah satunya. Adaptasi novel
dan figur fiktif kesohor pasti menghasilkan sensasi harap-harap cemas berbagai
pihak. Satu sisi menginginkan karakter sesuai interprestasi konservatif,
sedangkan pihak-pihak lainnya menawarkan argumentasi masing-masing. Namun di
sini saya salut dengan keteguhan Guy Ritchie dalam mengambil alih eksekusi
interpretasi karakter Sherly yang dibintangi Robert Downey Jr.
Plot sekuel Sherlock ternyata
di luar dugaan saya. Di sekuel inilah, jalan cerita yang dipilih yakni tatkala cerita
Sherly berakhir. Apa?! Kisah detektif-detektifannya masih digarap seperti versi
pemulanya. Cepat, bergaya, jenaka, dan kelam. Dalam sekuel ini titik beratnya
ada di paro akhir, yang mana paro awalnya kurang bersahabat terhadap penonton.
Film bergulir cepat, tak peduli apakah penontonnya sudah paham atau sudah
mengalami proses internalisasi plot dan karakter apa belum. Sedikit demi
sedikit penonton akan memahami alurnya. Kasus yang ditangani cukup besar. Ada
kesintingan profesor terkenal dalam menguasai sumber-sumber daya yang dapat
memicu perang dunia. Gejala-gejala prematurnya adalah mengambinghitamkan sepak
terjang kaum anarkis di Eropa. Ketika kebanyakan orang berhipotesis umum, maka
Sherly punya argumen lain.
Tadi sempat saya jelaskan
kalau sekuel ini merupakan akhir cerita Sherly. Itu karena pilihan plotnya
menyangkut kisah tewasnya Sherly di Swiss. Saya tidak coba membuatnya tak seru
dengan menuliskan seperti ini, karena sudah banyak orang tahu tentang hal ini, di
Swiss saja sampai ada museum Sherlock Holmes. Dalam sekuel ini Guy Ritchie
berani membubuhkan “?” pada tulisan THE END. Dari sini saya tangkap bahwa
Ritchie agak ingin “nakal, anormatif, antimenye-menye, bahkan alergi
melodrama”. Saya cukup terpuaskan dengan momen baku tembak di tengah belantara
hutan ketika kawanan Sherly melarikan diri. Sinematografi dan penyuntingan
gambarnya bak sebuah theatrical trailer
sebuah film. Saya apresiasi itu, karena bagi saya Sherly milik Ritchie lebih
merupakan film aksi komedi berkedok kisah detektif. Bagi para penggemar Sherly
(buku) mungkin bisa jadi mereka mencak-mencak terhadap karya ini. Tak mengapa.
Yang jelas, Guy Ritchie sudah menjadi sutradara dalam artian punya otoritas-sentuh
terhadap hasil karyanya. [B] 03/10/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar