Selasa, 02 Oktober 2012

Resensi Film: Arbitrage (2012)

Beruntungnya saya bisa mendapat unduhan film ini dari warnet, padahal masih baru kinyis-kinyis. Di bioskop Indonesia pun belum tayang. Bukan sebuah judul film yang terkenal memang, namun terdengar lumayan di kalangan peresensi film di USA. Terhitung sejak awal tahun hingga menjelang akhir tahun ini masih belum kelihatan film-film dominan atau terpuja-puji. Sebut saja, di tahun ini baru ada The Master arahan Paul Thomas Anderson yang menempati keranjang troli film pujaan.

Film ini dibintangi aktor kawakan Richard Gere yang konon (katanya) pembuat meler para kaum hawa. Yah, saya manut saja kalau begitu. Tentang apa? Nah, kalau dalam ulasan Still Walking saya bilang Asia “megang” untuk film-film drama emosional berbasis kehidupan keluarga, maka di sini saya mau bilang kalau Hollywood “megang” untuk film-film drama politik. Arbitrage sebenarnya bukan drama politik murni memang, karena benang merah utamanya adalah tindak kriminal. Ketika seorang pengusaha kaya raya berskala model sampul majalah Forbes—diperankan secara konstan oleh Tuan Gere—dihadapkan pada suatu kejadian kecelakaan mobil tunggal. Kecelakaannya bukan menjadi masalah utama, namun di dalamnya ia sedang bersama PIL (perempuan idaman lain) yang tewas di tempat saat kejadian. Tak mau berurusan dengan hukum, seketikalah ia melenyapkan semua bukti atas nama berbagai motivasi semisal khawatir kejadian tersebut akan memengaruhi bisnis dan kehidupan rumah tangganya.

Film ini mengingatkan saya pada beberapa film drama politik produksi Hollywood umumnya, sebutlah salah satunya The Ides of March. Tak banyak kebaruan di dalamnya. Hanya saja, sejak penampilan judul film saya terbawa oleh nuansa iringan musik gubahan Clint Mansell. Nah, perlu saya beberkan pula bahwa ada satu hal yang sangat menarik dalam film ini. Yakni pilihan eksekusi ending film. Cukup mudah ditebak memang terkait apa yang bakal dihadapi oleh karakter Tuan Gere di akhir film, namun saya sangat setuju dengan pilihan yang ada dalam film ini. Seolah-olah mengingatkan kita pada keseimbangan ganjaran bagi masing-masing karakter di dalamnya, supaya penonton tidak “dikecewakan” dengan gerundelan selepas menonton film seperti: “ah, curang… masa’ dia yang melakukan kejahatan tidak tersentuh siapa dan apapun”. Arbitrage tipikal film yang mampu menebus tuntas segala kebiasaan awal hingga tengah film ketika penonton menemui bagian akhirnya. Tontonlah hingga tuntas, kalau begitu. [B] 02/10/12 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar