Beruntungnya saya bisa mendapat
unduhan film ini dari warnet, padahal masih baru kinyis-kinyis. Di bioskop Indonesia pun belum tayang. Bukan sebuah
judul film yang terkenal memang, namun terdengar lumayan di kalangan peresensi
film di USA. Terhitung sejak awal tahun hingga menjelang akhir tahun ini masih
belum kelihatan film-film dominan atau terpuja-puji. Sebut saja, di tahun ini baru
ada The Master arahan Paul Thomas
Anderson yang menempati keranjang troli film pujaan.
Film ini dibintangi aktor
kawakan Richard Gere yang konon (katanya) pembuat meler para kaum hawa. Yah,
saya manut saja kalau begitu. Tentang
apa? Nah, kalau dalam ulasan Still
Walking saya bilang Asia “megang” untuk film-film drama emosional berbasis
kehidupan keluarga, maka di sini saya mau bilang kalau Hollywood “megang” untuk
film-film drama politik. Arbitrage
sebenarnya bukan drama politik murni memang, karena benang merah utamanya
adalah tindak kriminal. Ketika seorang pengusaha kaya raya berskala model
sampul majalah Forbes—diperankan
secara konstan oleh Tuan Gere—dihadapkan pada suatu kejadian kecelakaan mobil
tunggal. Kecelakaannya bukan menjadi masalah utama, namun di dalamnya ia sedang
bersama PIL (perempuan idaman lain) yang tewas di tempat saat kejadian. Tak mau
berurusan dengan hukum, seketikalah ia melenyapkan semua bukti atas nama berbagai
motivasi semisal khawatir kejadian tersebut akan memengaruhi bisnis dan
kehidupan rumah tangganya.
Film ini mengingatkan saya
pada beberapa film drama politik produksi Hollywood umumnya, sebutlah salah
satunya The Ides of March. Tak banyak
kebaruan di dalamnya. Hanya saja, sejak penampilan judul film saya terbawa oleh
nuansa iringan musik gubahan Clint Mansell. Nah, perlu saya beberkan pula bahwa
ada satu hal yang sangat menarik dalam film ini. Yakni pilihan eksekusi ending
film. Cukup mudah ditebak memang terkait apa yang bakal dihadapi oleh karakter
Tuan Gere di akhir film, namun saya sangat setuju dengan pilihan yang ada dalam
film ini. Seolah-olah mengingatkan kita pada keseimbangan ganjaran bagi
masing-masing karakter di dalamnya, supaya penonton tidak “dikecewakan” dengan gerundelan selepas menonton film
seperti: “ah, curang… masa’ dia yang melakukan kejahatan tidak tersentuh siapa
dan apapun”. Arbitrage tipikal film
yang mampu menebus tuntas segala kebiasaan awal hingga tengah film ketika
penonton menemui bagian akhirnya. Tontonlah hingga tuntas, kalau begitu. [B]
02/10/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar