Dia
terjebak dalam suatu kehidupan bernegara yang menyisakan trauma akan
protes dari rakyatnya di masa lalu. Lantas demikian, pemerintah
menciptakan acara represif tahunan bernama Hunger Games guna memberi
“pelajaran” kepada rakyat supaya tak mengalirkan demonstrasi.
Ajang ini tak bedanya sebuah permainan berdarah. Sejumlah 12 distrik
wajib berpartisipasi tiap tahunnya, lewat mekanisme undian
ditentukanlah perwakilan remaja putera dan puteri rentang belasan
tahun dari masing-masing distrik sebagai peserta yang bakal
menghadapi kompetisi berujung maut. Mereka diadu satu sama lain
hingga mati sampai tersisa seorang pemenang.
Cukup.
Melalui titik ini saja, kita sebagai penonton sudah menangkap aroma
nilai-nilai ide revolusioner dalam plot besar Hunger.
Sepintas akan mengingatkan kita pada V
for Vendetta dan film-film
sejenisnya. Seketika saja saya bahkan sampai membayangkan bahwa
Hunger Games sendiri merupakan sebuah metafora atas koloseum. Dunia
kontes penuh nilai kompetisi yang memperlihatkan kesusahan kaum
jelata namun membuat sebagian penonton borjuis kegirangan.
Spesialnya, film ini tak nampak mau muluk-muluk. Ia menekurkan diri
sebagai film remaja dengan segala kisah merah jambunya. Ajaibnya
lagi, meski kisah cintrong
bukan menjadi fokus utama di dalamnya namun rasa itu tersampaikan.
Alamak…
Walaupun
saya belum membaca bukunya, saya tebak bahwa film hasil adaptasi ini
sukses menjaga martabat. Kapan lagi kita bisa menikmati film kriuk
cepat saji bernutrisikan antioksidan berlabel organik. [B+] 26/10/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar