Minggu, 07 Oktober 2012

Resensi Film: Magnolia (1999)

Sengaja saya niatkan diri memilih film ini untuk ditonton karena penasaran setelah membaca hasil-hasil resensi oke punya dari The Master yang sedang tayang di bioskop USA. Stradanya adalah Paul Thomas (P.T.) Anderson. Selidik punya selidik, ternyata saya pernah menonton karyanya berjudul Punch-Drunk Love. Ketika mulai memutar Magnolia dan melihat pojok panel durasi 3 jamnya, spontan saya terkejut dan agak ragu akan bisa menikmatinya.

Dalam pembuka film, seorang narator mengoceh percaya diri menjelaskan ide-idenya tentang kebetulan demi kebetulan dan kejadian cukup mengerikan. Saya belum bisa menangkap apapun itu hingga tibalah pada kisah-kisah di luar narasi verbal. Saya bilang “kisah-kisah” di sini karena Magnolia merupakan film multiplot. Tak cukup hanya dua atau tiga cerita paralel, namun lebih dari 5 plot. Saya takkan menghitungnya. Pokoknya lumayan banyak untuk sebuah ukuran film drama lepas. Sadisnya lagi, semua itu berlangsung selama 3 jam lebih. Saya pikir film drama nonkolosal berdurasi segini panjang sangat bisa dihitung jari. Dan Magnolia ini bukan film kolosal. Ia bukan The Godfather: Trilogy, Titanic, dan sejenisnya.

Lalu, tentang apakah Magnolia gerangan? Secara keseluruhan, fragmen-fragmen yang ada di dalamnya berkeinginan menyatukan sebuah ide utama yakni peristiwa berbasis kebetulan, persimpangan, dan kesempatan. Drama-drama di dalamnya berlatar dari pelbagai perspektif. Misal, ada dua jenius program kuis TV dari dua generasi yang berbeda. Dikisahkan bagaimana mereka berdua disudutkan pada posisi dalam skala popularitas yang memaksa mereka untuk selalu maju dan menjadi nomor satu. Lainnya, ada pengakuan dari 2 pria paro baya yang mengejutkan tentang masa lalunya. Dan masih banyak lagi parade drama kegalauan hidup yang sedang dihadapi masing-masing karakter dalam Magnolia.

Lalu, apa titik-titik istimewanya? Mari kita coba ungkap satu per satu: 1) Akting. Sungguh luar biasa saya melihat pemeranan masing-masing pemain. Awalnya memang sempat terkesan terlampau meledak-ledak namun berangsur terkesan nyata. Di sini saya melihat Tom Cruise sangat menikmati perannya sebagai motivator kejantanan pria; 2) Musik. Sebenarnya tak ada iringan spesial dari komposer Jon Brion, namun pilihan-pilihan lagu dari Aimee Mann tepatlah sasaran. Hingga ada satu adegan di mana semua karakter bernyanyi lagu Wise Up (It’s Not Going to Stop)-nya Aimee Mann secara terpisah tanpa terkesan wagu (aneh, tidak pas); 3) Skenario. Terpujilah naskah drama bertumpuk ini, ketika mampu membangun bagian klimaksnya bertahan selama lebih dari setengah jam di fase pertengahan film. Ketegangan menghenyakkan tak saya terima memang, namun intensitas kegentingan satu adegan dan adegan lainnya solid tercipta secara bersamaan dan susul-menyusul berkesinambungan.

Inefektivitas durasi pada Magnolia tak mengurangi daya pikatnya untuk dinikmati secara marathon. Saya tak segan memberi selamat kepada P.T. Anderson yang telah secara diam-diam menghanyutkan sulap Magnolia menjadi sebuah drama multisensasional dengan ide penutup cerita yang cukup menggelikan sekaligus menyebalkan dalam bingkai ide berselera humor tinggi ala karya novel. [B/A] 06/10/12

1 komentar:

  1. Film yg gw bilang salah 1 masterpiece-nya PTA,
    ensemble-nya dapet banget, dan konfliknya bikin ikut emosi juga....dan openingnya? wes

    BalasHapus