Senin, 11 April 2011

Hari III: Ayutthaya, Chao Phraya, & Kehidupan Malam di Bangkok

Tujuan berikutnya adalah Ayutthaya. Kenapa kami memilih kota kecil sebelah utara Bangkok ini ketimbang Teluk Pattaya yang berada si selatan Bangkok? Karena Pattaya merupakan wisata kehidupan malam dengan pemandangan pantai teluk yang tidak begitu kental nuansa historisnya. Untuk wisata kehidupan malam, kita bisa memilih Pat Pong di daerah Silom, pusat kota Bangkok sebagai alternatif pengganti rasa penasaran. Sedangkan untuk wisata pantai, teman Thai saya lebih menyarankan pergi ke tempat yang lebih jauh di bagian selatan Thailand yakni Phuket—yang tentunya tidak bisa dijelajahi dalam kesempatan kali ini—meski Pattaya juga memiliki beberapa pantai indah di Koh Larn, sebuah pulau kecil di seberang teluk.


Untuk meraih Ayutthaya ada banyak pilihan moda transportasi, namun yang umum dipakai pelancong beranggaran rendah adalah kereta ekonomi dari Statiun Utama Hua Lamphong yang mulai beroperasi pada 25 Juni 1916. Konsep bangunannya serupa dengan Stasiun Kota di Jakarta yang memiliki kubah utama berlangit-langit tinggi. Ada tempat pemujaan Buddha di tengah atriumnya. Yang membuat kami “terharu” adalah di sini kita menemukan tempat salat. Orang Thai menyebutnya hong lamard yang lebih kurang berarti ruang/kamar ibadah. Pengalaman ini menambah catatan kejadian-kejadian lainnya bertemu dengan sesama muslim. Yang pertama, ketika paginya kami mengucap “assalamu’alaikum…” kepada penjual berjilbab di food court halal di Khao San Road yang kemudian dijawab disertai senyuman lebar. Yang kedua, kala bertemu ibu paro baya berjilbab yang membantu kami mencari tuk-tuk di Ayutthaya. Dan terakhir, ketika sorenya tiba-tiba seorang pelayan KFC berjilbab langsung menyalami dan menyapa teman saya dari Jakarta yang berjilbab. Ekspresi pelayan yang berjilbab tersebut kepada kami penuh ceria dan ramah. Sebuah sensasi yang membuat saya sangat bersyukur menjadi bagian keluarga besar muslim sedunia.


Pilihan kereta yang tersedia untuk tujuan Ayutthaya hanya kelas tiga atau ekonomi karena rutenya singkat, sekitar 1,5—2 jam dari Hua Lamphong. Jadwal keberangkatan berkala tiap 1—2 jam sekali. Sebagai catatan, di Thailand cukup banyak terdapat pos tourist information jadi cukup membantu kita supaya tidak tersesat. Termasuk di stasiun kuno ini, petugas informasi sangat bersahabat dan membantu kami. Bahkan ada yang (menurut saya) berasal dari daerah selatan Thailand sehingga mengajak kita berbahasa Melayu ketimbang memakai bahasa Inggris. Setelah membeli tiket yang seharga 15 baht/orang, kami menuju ke kereta dengan memilih tempat duduk sendiri karena tidak ada pemesanan khusus. Secara garis besar, kondisi stasiun dan gerbong kereta ekonomi di Hua Lamphong sama dengan di Indonesia. Bedanya, nampak lebih bersih dan tidak terlalu padat yang menyebabkan berebutan tidak karuan.


Setelah menunggu beberapa saat, kereta diberangkatkan. Sama persis dengan teknologi kereta umum di Indonesia. Selama perjalanan kami cukup terhibur dengan “anehnya” orang bercakap dan pedagang keliling menawarkan jualannya dalam bahasa Thai. Bagi saya pribadi, yang satu ini menjadi hal ngangeni. Pemandangan pemukiman sederhana mengarah ke kumuh bisa dijumpai lewat kaca jendela gerbong. Meski sederhana, namun akan banyak dijumpai rumah-rumah tersebut dilengkapi dengan antena TV kabel. Ajaibnya lagi ketika kita melintasi sungai tiba-tiba perahu bermesin melintas. Dan saya lihat saksama, ternyata sungai mereka tidak sejorok sungai-sungai umumnya di Indonesia. Mereka memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi umum yang layak. Ini sejalan dengan rencana kami sore harinya untuk menyusuri Sungai Chao Phraya yang membelah Bangkok.


Tiap stasiun kereta berhenti. Sampai akhirnya samping tempat duduk kami yang sebelumnya kosong diisi oleh pasangan backpacker dari Belanda. Kami berkenalan dan mengobrol santai hingga sampai Stasiun Ayutthaya. Tujuan mereka murni backpacking, dimulai dari Benua Asia (India, Indo-China, Indonesia) sampai Benua Afrika. Senang sekali rasanya bisa menimba banyak informasi dari mereka yang telah melanglang buana. Perjalanan sekitar 2 jam menjadi tidak terasa dan akhirnya sampai di Stasiun Ayutthaya. Tadinya kami sudah bersalaman mengucap berpisah setelah sempat diberi alamat surel oleh pasangan dari Belanda tersebut, namun pengalaman menyatakan lain. Kami bertemu lagi dengan mereka sewaktu berkeliling di Ayutthaya dan di pusat perbelanjaan Mahboon Krong (MBK) Bangkok pada malam harinya secara tidak sengaja. Jadi seharian kami bertemu mereka tiga kali. Sebuah kebetulan yang aneh, lucu, tapi nyata.



Berkeliling Ayutthaya kurang dari 2 jam. Itulah konsep kami sehingga sorenya bisa menikmati Chao Phraya. Kami mendapat carteran tuk-tuk dengan kesepakatan 350 baht sampai kembali ke stasiun lagi. Sebenarnya banyak wat tersebar di Ayutthaya. Maklum, karena kota kecil nan sepi ini dulunya merupakan pusat kerajaan besar Thailand sekitar abad ke-15 setelah kejayaan Sukhotai—yang terletak di kawasan utara Thailand—beberapa abad sebelumnya. Di sini kami dituntut dengan waktu yang ada bisa memilih wat yang paling memungkinkan dikunjungi. Terpilihlah: Wat Lokayasutha (sleeping Buddha), Thanon Si Sanphet (Phra Mongkhon Bophit), Wat Phrasisanpheth, Wat Phra Ram, dan Wat Maha That. Semua wat yang kami kunjungi gratis. Selama perjalanan di atas tuk-tuk pun kami melihat banyak reruntuhan wat dan semacamnya, boleh dibilang Ayutthaya mungkin kota sejuta wat. Di beberapa kompleks wat ada hiburan naik gajah dengan harga yang belum sempat kami tanyakan. Menikmati Ayutthaya kurang dari 2 jam jelas jauh dari kata cukup. Saya sangat menikmati ketenangan Ayutthaya sebagai museum reruntuhan kejayaan kerajaan di masa lampau. Saatnya kami kembali ke Bangkok…


Setelah sampai di Stasiun Hua Lamphong, kami mengisi perut dulu di KFC dalam stasiun. Makan di restoran waralaba ini terdapat jaminan halal. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, kami bertemu dengan sesama muslim lagi. Yang paling unik dari KFC di sini adalah mereka menyediakan air minum (putih) gratis. Sewaktu kami memesan makanan tanpa minuman, kami langsung disodori gelas plastik berisikan es batu. Teman saya memastikan bahwa kami tidak pesan dan bertanya apakah gratis. Mereka menjawabnya gratis dan air putihnya ada di meja saus. Menyenangkan tahu mereka memiliki layanan seperti ini. Perbedaan sederhana tapi melegakan karena konsep free drink ala teh tawar ranah Sunda masih ada di tengah ibukota metropolitan macam Bangkok. Setelah selesai makan, kami langsung mencari tuk-tuk untuk mengantar kami ke dermaga Chao Phraya terdekat.


Satu lagi kejutan dari Bangkok buat saya. Sebuah transportasi umum perahu bermesin (boat) di sungai pembelah Bangkok (timur-barat) sepanjang 372 km dari hulu ke hilir dengan lebar (sepertinya) kurang dari 1 km. Tiket naik perahu hanya 14 baht untuk segala jurusan yang membentang dari utara sampai selatan. Sungai inilah yang dulu menjadi penghubung antara Kerajaan Ayutthaya yang berpusat di pedalaman dengan daerah pesisir. Bahkan setelah Ayutthaya runtuh, pusat ibukota Thailand berpindah ke Thonburi yakni di kawasan sisi barat Chao Praya sedangkan pusat kota Bangkok yang sekarang berada di sebelah timur Chao Phraya. Tak heran bahwa teman Thai saya sempat bilang, pada zaman dahulu kala dalam sejarahnya banyak ilmuwan asing menyebut Bangkok sebagai Venice of Eastern. Bangkok benar-benar memberdayakan sungainya secara arif. Jalur pembuangan rumah tangga pun dipisahkan. Meski tidak bersih, air Chao Phraya masih masuk batas toleransi untuk digunakan sebagai jalur lalu lintas. Jangan heran bahwa pegawai berdasi necis pun tidak “jijik” naik perahu mengantarkan mereka berangkat dan pulang kerja.


Ketersediaan brosur pariwisata Thailand sangat membantu kami dalam menyusuri Chao Phraya via perahu. Dalam brosur tertulis dengan jelas nama-nama jalur dengan ciri bendera beserta nama-nama dermaganya. Tujuan kami dari Dermaga Si Phraya adalah ke Dermaga Phra Arthit. Di sana kami akan menuju Taman Santichaiprakarn. Di tengah perjalanan menuju ke sana, saya sangat menikmati silir angin dan siratan air sungai di atas dek perahu sambil melihat wat yang berdiri di pinggir-pinggir sungai. Petugas tiket memeriksa tiket yang kami bawa hanya dengan menyobeknya. Ketika perahu hendak bersandar navigasi nahkoda mulai bermanuver. Dermaga demi dermaga dilalui, sampailah kami di Phra Arthit yang sebenarnya dekat juga dengan Khao San Road. Kami langsung berjalan ke Santichaiprakarn yang bersebelahan dengan dermaga.


Setibanya di taman, hati saya kembali “iri” dengan Bangkok karena mereka memiliki taman luas yang nyaman nan indah untuk bersantai bersama keluarga atau orang tersayang lainnya. Tepat di samping sungai disediakan banyak tempat duduk dengan pemandangan latar taman yang asri. Tempat berkumpulnya warga Bangkok mulai dari tua sampai muda. Yang hanya ingin sekadar menghirup udara segar atau latihan capoeira. Dari tempat ini pula pemandangan Jembatan Rama VIII yang menjadi kebanggaan baru warga Bangkok nampak sedap dipandang. Seolah-olah membuat saya betah berhari-hari hanya berdiam diri di sana. Permukaan air Chao Praya telah memantulkan cahaya matahari sore berwarna kekuningan, saatnya beranjak dari Santichaiprakarn untuk bertemu teman Thai di pusat kota Bangkok.


Menuju ke pusat bisnis dan perkantoran Bangkok di daerah Siam mengingatkan kembali ke tengah himpitan penumpang dalam perut bus Transjakarta. Infrastruktur Bangkok jauh meninggalkan Jakarta. Mereka telah memiliki BTS dan subway atau MRT, dengan rencana ekstensi yang terus digalakkan. Petang hari di dalam kereta BTS membuat kami mencicipi sibuknya ibukota yang bernama asli superpanjang dan disingkat dengan Krung Thep Mahanakhon ini. Sesampainya di Stasiun Siam, kami disambut dengan dentuman musik enerjik yang terdengar dari pelataran atrium outdoor mal besar Siam Paragon pertanda sedang berlangsungnya acara kaum muda-mudi. Inilah mal terkenal di Bangkok yang terus-menerus melebarkan luasnya dengan memberi nama-nama baru semisal Siam Discovery—seperti yang dilakukan Plaza Indonesia. Jika kita masuk mal ini, maka akan terasa sebagai pusat nongkrong pemuda-pemudi Thailand. Mereka dimanjakan atas gagasan konsep mal ala youngsters yang trendi dan gaul. Dari segi interior ibarat FX Jakarta dalam skala yang jauh lebih besar. Di sini dibuka museum lilin populer kondang Madame Tussauds pertama di Asia Tenggara sejak Desember 2010.




Tidak jauh dari Siam Paragon, kita bisa menemui gedung pameran-seni baru Bangkok Art & Culture Center (BACC) dan pusat perbelanjaan MBK. Kami tidak sempat ke BACC, dan secara arsitektural tidak nampak begitu khas layaknya Esplanade di Singapura. Seperti pemandangan tipikal di Asia Tenggara, BACC terlihat jauh lebih sepi dibanding di area Siam Paragon. Bagi pelancong yang tidak bisa ke Chatuchak weekend market, alternatif utama untuk mencari suvenir khas Bangkok adalah ke MBK. Di sini mal buka hingga pukul 22.00, namun kebanyakan kios sudah tutup pada pukul 20.30. Harga yang ditawarkan cukup terjangkau dan beberapa barang bisa ditawar. Namun, konon apabila pergi ke Bangkok dan ingin menguji kelihaian menawar barang maka Chatuchak-lah “surga”-nya.



Malam makin larut, kami diajak teman-teman Thai ke daerah Silom. Daerah ini dikenal sebagai distrik bisnis sekaligus sentra kehidupan malam Bangkok. Belum ada tanda-tanda aktivitas jalanan daerah ini meredup sekitar pukul 23.00, malahan nampak lebih riuh. Di daerah Silom, kami menelusuri kawasan red district Pat Pong. Ada dua cabang Pat Pong yang masing-masing berupa gang besar. Jika melintasi kawasan ini pasti akan banyak ditawari hal-hal berbau “esek-esek”, mulai dari video porno sampai ping pong show, dan semuanya bisa ditawar. Menarik sekali ketika berjalan di daerah Pat Pong karena di daerah yang penuh pramuria ini kita juga melihat polisi berpatroli. Sepertinya mereka berkeliling menjaga keamanan demi kepentingan bersama. Di Gang Pat Pong I, tepatnya di depan deret bar dan diskotek, berjajar rapi tenda pasar malam yang menjual pernak-pernik sandang sampai suvenir Thailand. Berada di Pat Pong berasa bukan berada di red district karena banyak pula anak kecil bahkan keluarga yang singgah kemari. Sekitar Silom terdapat pula gang khusus gay yang letaknya tidak jauh dari Pat Pong I dan Pat Pong II. Kebetulan kami tidak melaluinya, hanya melihat gangnya dari seberang jalan. Dari seberang sudah nampak neon box dan gambar-gambar yang menjurus ke hal berbau gay.




Pagi dini hari telah lewat, ditemani teman Thai kami kembali ke hostel. Di atas taksi yang melaju kami sempatkan pula untuk menikmati kawasan Wireless Road yang merupakan kawasan termahal di Bangkok, di mana banyak bangunan kedutaan besar berdiri. Arah kembali kami kebetulan melewati Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bangkok. Ternyata gedungnya cukup besar dan bagus. Cukup dekat berseberangan dari gedung tersebut berdiri bangunan tertinggi di Bangkok, Baiyoke Tower (304 m). Bangkok malam hari tidak sebegitu meriah lewat gemerlap lampu gedung-gedung pencakar langitnya, namun kehidupan yang ada di dalamnya membuat kesan meriah jauh melampaui gemerlapnya penghias cakrawala dari beton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar