Kamis, 21 April 2011

Resensi Musik: Gorillaz - The Fall (2011)


Kaget. Tiba-tiba saya lihat resensi album baru Gorillaz di metacritic(.com). Belum lama album Plastic Beach rilis, The Fall menyambar estafet talian album Gorillaz. Tak perlu delay, saya gerilya unduh mp3 gratisannya. Maklum karena grup musik karakter yang satu ini masuk personal fav saya. Tapi kenapa Damon Albarn tak kirim sms ke saya dulu untuk rencana rilis album dadakan ini ya? Sebelum dengar album, saya sempatkan simak beberapa resensi kritikus album musik. Konsensus kritik menyatakan campur-baur antara suka dan tidak. Usut punya usut, ternyata album ini dicipta sepanjang tur Gorillaz di USA. Tak heran dari tracklist-nya saja banyak petunjuk berplat USA.

Terdiri dari 15 lagu dalam durasi sekitar 43 menit yang tak jelas juntrungannya dan tumben minim banjir musisi pendukung (additional). Minimalis, tanpa konsep pretensius. Sekadar menuangkan ide dan sensasi selama perjalanan, seperti kala kita memilih memainkan game telepon selular ketimbang melamun atau tidur di dalam bus. Kali ini Albarn memencet gadget musiknya. Entahlah dia suka merek apa, spontan mengingatkan kesukaan saya dulu main-main dengan software Fruity Loops. Tetap saja di album ini Albarn memilih palet bunyi-bunyian ala (alm.) game console Nintendo 8-bit yang selama ini mendominasi tiap album Gorillaz.

The Fall jelas melecehkan pola umum konseptualisasi album musik. Bagaimana tidak? Dengar saja lagu-lagu seperti Revolving Doors dan Hillbilly Man (judul yang puitis ya?), ketika hati sudah keburu hanyut dalam untaian nada melankolis nan syahdu tiba-tiba dicampur dan digenjot dengan denyut hip-hop lawas nan konyol. Seperti pasutri yang sedang asyik “cocok tanam” tiba-tiba dikejutkan si balita karena ngelilir minta susu. Buyar. Bertebaran instrumen elektronik nan imut, santai, kadang kontemplatif, bahkan malas-malasan seperti bangun tidur di dalam The Fall. Pesan moral saya, jangan pernah dengarkan album ini secara serius.

Mahfum bila ada penikmat baru Gorillaz yang akan bilang, “lagu apaan ini?” Memang, banyak lagu Gorillaz tak konvensional. Terlebih dalam The Fall. Meski begitu kalau kita berhasil tarik nada-nada perenungannya pasti akan berasa indah. Tak ada lirik baru dan inspiratif dalam The Fall. Kebanyakan si Albarn masih curhat spiritual dan kesepiannya. Ini terang sekali dalam Amarillo, yang jadi lagu pertama favorit saya di album ini.

Saya tak menyalahkan Albarn kalau saja hasil penjualan album ini merosot. Sebuah konsekuensi yang harus ditanggung bila melihat kondisi: (1) terlalu dekatnya jarak rilis album; (2) keanehan konsep; dan (3) intoleransi terhadap selera pasar. Yang membuat saya sekali lagi acungi jempol pada Albarn adalah acapkali mendengarkan albumnya, baik di Blur maupun di Gorillaz, saya tak pernah menangkap ambisi penaklukan dan pengakuan kemahsyuran—misal: demi mencipta magnum opus, demi mendapat Grammy, demi mendapat rating tinggi, dsb. Dia selalu jujur bermusik. Spesies langka.

Mendadak ingat Oasis yang dulu sempat dilawan-bandingkan dengan Blur oleh masing-masing fans. Nampaknya makin ke sini makin nyata terjawab siapakah yang lebih produktif. [B-] 20/04/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar