Minggu, 10 April 2011

Hari I: Suvarnabhumi & Khao San Road

Setelah sekitar 4 jam lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Indonesia (Soetta) akhirnya pesawat mendarat mulus di Bangkok, Thailand. Sesampainya di Thailand saya disambut oleh sebuah bangunan bandara kelas internasional yang luas, megah, bersih, dan terang. Namanya Suvarnabhumi, dibaca “suwarnabum” terkait transliterasi dari bahasa Pali—bahasa yang dipakai resmi di Thailand—ke bahasa Latin. Sebuah perbedaan yang ekstrem bila dibandingkan dengan pemandangan di Soetta. Menurut informasi yang saya dapat, Suvarnabhumi merupakan bandara kedua terbesar berkonsep terminal tunggal di dunia setelah bandara internasional di Hongkong. Sebelumnya Thailand telah memiliki Bandara Internasional Don Mueang yang terletak di sebelah utara Bangkok. Namun guna memenuhi rencana strategi pembangunan negara, maka dibangunlah Suvarnabhumi yang mulai beroperasi sekitar tahun 2006.


Perjalanan dari concord gerbang pintu pesawat ke imigrasi cukup jauh. Terdapat fasilitas travelator di sepanjang jalan. Sesampainya di bagian imigrasi, loket-loket yang dibuka relatif banyak dengan tipikal pembagian antara pemegang paspor lokal (Thailand) dan paspor asing (foreigner). Bisa jadi karena Suvarnabhumi merupakan salah satu bandara sibuk di Asia Tenggara bahkan di dunia sehingga jumlah loket dan petugas imigrasinya jauh lebih banyak dibanding yang dimiliki Soetta. Pelayanannya cepat, meski tidak sekhas pelayanan prima di supermarket yang dituntut penuh dengan senyum, salam, dan sapa. Beberapa petugas mengenakan masker, mungkin sebagai tanda sedang tidak fit. Tidak ada dialog di imigrasi saat saya menyodorkan paspor dan tiket kembali ke Indonesia. Kecuali saat saya praktik mengucapkan “khop khun krub” (Ina: terima kasih) kepada petugas. Puas rasanya karena setelah itu saya mendapat jawaban dari si petugas. Hal ini berbeda sekali dengan kasus ketika saya bersama teman-teman melewati imigrasi di crossborder darat (via bus) di Singapura dari Malaysia. Pada kesempatan itu teman saya sempat diwawancarai dulu oleh petugas imigrasi ihwal tujuan, jaminan tinggal, dan kepastian kembali ke negara asal. Setelah melewati imigrasi di Suvarnabhumi, akan kita dapati pusat bagasi dengan beberapa kios money changer tersebar di sekitarnya.


Dari Suvarnabhumi banyak alternatif transportasi umum yang bisa dipilih untuk menuju pusat kota Bangkok sejarak 28 km: (1) taksi; (2) bus ekspres bandara; (3) bus umum; dan (4) kereta ekspres bandara/airport rail link. Setelah memelajari informasi dari beberapa blog backpacking, saya dan teman saya memutuskan memilih sarana transportasi yang terakhir karena selain hemat, kereta ekspres ini juga tepat waktu. Tujuan kami adalah stasiun terakhir (Phaya Thai) yang masih agak jauh dari daerah penginapan terkenal bagi backpackers di Thailand, yakni Khao San Road (Thai: Thanon Khao San). Dialog pertama kami dengan orang Thai secara langsung terjadi ketika menanyakan arah menuju stasiun. Kesan awal dalam benak saya adalah ternyata tidak banyak yang menguasai bahasa Inggris. Kalaupun ada terkadang susah dimengerti karena bahasa Thai layaknya bahasa Mandarin yang memiliki tonasi. Setahu saya ada lima tonasi dalam bahasa Thai dan apabila kita mengucapkan datar-datar saja mungkin lawan bicara tidak paham dan hal ini sangat berpengaruh ketika mereka berbahasa Inggris. Tonasi dan logat mereka masih kental kala berucap bahasa Inggris. Kami harus benar-benar memahami konteks dulu sehingga mempermudah jalinan komunikasi.


Sesampai di stasiun Suvarnabhumi (SA City Line) yang terletak di lantai bawah, kami langsung membeli tiket ke Phaya Thai seharga 45 baht (kurs awal April 2011: Rp300,00). Tiket yang berupa koin plastik berwarna merah tersebut bisa dibeli dengan memasukkan uang logam lewat mesin yang tersedia. Koin tersebut berfungsi membuka portal gerbang lewat. Mekanismenya, koin ditempel ke layar sentuh ketika masuk stasiun dan memasukkannya ketika keluar dari stasiun tujuan. Tidak lupa di area mesin tiket tersebut kami mengambil brosur-brosur pariwisata Thailand yang disediakan gratis, lengkap dengan peta kota juga detail tujuan wisata beserta keterangannya.


Tidak lama setelah melewati portal masuk stasiun, kami mendengar paging bahwa kereta akan segera tiba di stasiun dan siap memberangkatkan penumpang sebentar lagi. Memang benar adanya, 3-5 menit kemudian kereta ekspres itu tiba dan setelah penumpang tujuan Suvarnabhumi turun kami segera memasukinya. Kondisi kereta mirip LRT (light rail transit) dan monorail milik Malaysia atau MRT (mass rapid transportation) di Singapura. Bahkan waktu itu saya merasa suspensinya lebih mulus, bisa jadi karena kondisinya masih relatif baru. Dari brosur yang saya pegang, SA City Line memiliki 5 kereta dengan masing-masing mempunyai 3 gerbong bermuatan total 745 penumpang per kereta dan beroperasi pukul 06.00—24.00 (waktu Bangkok sama dengan Waktu Indonesia bagian Barat/WIB). Setelah 30 menit perjalanan yang nyaman bersama SA City Line, akhirnya kami sampai ke Phaya Thai.

Mulai lagi kami berkomunikasi dengan orang Thai, khususnya dengan sopir taksi, karena kami hendak memakai jasa taksi untuk ke Khao San Road. Sebelumnya kami tanyakan dulu kepada pegawai stasiun ihwal taksi mana yang bagus dan di mana kami bisa menunggu taksi. Entah karena mengetahui bahwa kami merupakan pelancong atau karena faktor lainnya, kebanyakan taksi tidak mau memakai argo sehingga harus tawar menawar dulu sebelum sepakat. Ada dua alternatif media yang bisa digunakan untuk tawar menawar: (1) coba berbahasa Thai; atau (2) menggunakan kalkulator. Lagi-lagi di sini saya mendapat kesan bahwa sedikit sopir taksi yang menguasai bahasa Inggris. Setelah mendapat taksi dengan harga yang disepakati, segera kami diantar ke Khao San Road.

Dalam perjalanan, saya melihat dan menikmati suasana Bangkok di malam hari sekitar pukul 21.00—22.00. Jalanan masih cukup ramai, tidak macet. Di beberapa pinggir jalan nampak aktivitas dagang pasar sektor informal, termasuk jualan buah-buahan. Hampir mirip dengan atmosfer di Indonesia, khususnya Jakarta. Lampu lalu lintas umumnya dilengkapi dengan indikator hitungan mundur, kabel-kabel listrik pun membentang cukup semrawut. Bedanya, di Bangkok kita bisa melihat banyak lintasan beton BTS (Bangkok Train Sky). Trotoar masih terjaga dan nyaman bagi pejalan kaki dan beberapa ekor anjing sering berseliweran di trotoar. Di jalanan Bangkok terasa lebih banyak mobil daripada sepeda motor, jarang terdengar klakson membabi-buta khas Jakarta, serta bangunan kuil tersebar di mana-mana di tengah dominasi ruko kuno khas pecinan. Tentu saja hal lain yang paling membedakan adalah pemakaian jenis tulisan. Penulisan akson Thai diterapkan secara luas, terdapat beberapa yang beraksara latin namun jarang, dan hanya sedikit sudut yang berbahasa Inggris.

Kami turun di Kantor Polisi Chanasongkram di Khao San Road sembari menunggu jemputan teman-teman Thai yang merupakan rekan kami sewaktu kuliah singkat dalam Asian Emporiums Course di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, tahun 2007. Kesan pertama saya terhadap area Khao San Road adalah percampuran antara sudut Legian, Bali dan sudut Prawirotaman, Jogja. Untuk Legian jelas karena faktor hiruk pikuk dan kepadatan bule-nya, sedang untuk Prawirotaman dari sisi penginapannya. Banyak backpackers berkumpul di sini untuk menginap, bersantai ria, belanja, makan, bersenang-senang, dan hal-hal khas melancong lainnya. Saya sempat dihampiri oleh seorang bule paro baya karena terlihat celingukan. Setelah mengobrol sebentar, ujung-ujungnya bule asal Austria bernama Edwin tersebut menawarkan/jualan buku terjemahan. Dari sini saya tambah kuat berpikir bahwa Khao San benar-benar tempat terkenal bagi pelancong beranggaran rendah. Tidak lengkap rasanya menjadi backpacker di Bangkok jika tidak menikmati Khao San Road.


Supaya mudah berkomunikasi dengan teman Thai, saya mencari toko penjual kartu SIM. Toko pertama yang saya coba adalah 7 Eleven, sebuah waralaba minimarket terkemuka di dunia yang berbasis di Amerika Serikat. Di Malaysia dan Singapura minimarket ini juga populer seperti halnya Indomaret di Indonesia. Konsep mereka buka 24 jam nonstop. Di minimarket ini cukup banyak yang dijual bahkan bisa dibilang lengkap untuk kebutuhan turis. Dari transaksi di toko ini saya mulai melihat Thailand termasuk negara yang cukup menghargai uang dilihat dari cara mereka menyimpan dan memperlakukan baht. Tidak seperti di Indonesia yang banyak sekali dijumpai rupiah dalam keadaan kumal, sobek, dicoret-coret, bahkan diplester.

Setelah bisa berkomunikasi dengan teman Thai secara langsung, kami pun berhasil bertemu di kantor polisi dan spontan reaksi reuni berjalan. Kami lalu melanjutkan acara dengan mencari penginapan murah. Saya dan teman dari Jakarta sengaja sepakat untuk mandiri di Bangkok supaya lebih leluasa dalam menjelajah, meski teman Thai menawarkan akomodasi. Satu per satu hostel, guesthouse, dan semacamnya kami singgahi namun susah mencari yang cocok karena beberapa faktor, seperti: penuh, harga, dan tipe kamar mandi (shared/bersama). Lebih dari sejam kami mencari dan tidak kunjung mendapat yang diharapkan.

Dalam perjalanan tersebut kami jumpai pula beberapa tunawisma yang mengemis di trotoar. Kata seorang teman Thai, hal itu masih menjadi pekerjaan rumah negara di samping pengendalian hal eksternal lain yang masih juga mengancam yakni imigran dari negeri tetangga. Mereka datang ke Bangkok guna mencari nafkah meski tanpa memiliki tujuan pekerjaan dan tempat tinggal yang jelas. Dari sudut pandang pribadi, saya melihat pemandangan kesenjangan sosial semacam ini masih lebih kentara di Indonesia yang hingga kolong-kolong jembatan layang pun sesak dibuat pemukiman semipermanen warga tuna wisma.

Setelah lama tidak mendapat penginapan, saya tengok kembali catatan penginapan yang pernah saya buat dari hasil googling. Muncul satu nama hostel, Marcopolo, yang terletak di cabang gang Khao San Road. Teman Thai saya kemudian mengontak hotel tersebut dan ternyata masih ada cukup kamar untuk disewa. Kami segera meluncur ke sana dan setuju untuk tinggal di sana selama di Bangkok. Harga yang ditawarkan sangat layak, hanya 350 baht/malam, dengan fasilitas single bed, kamar mandi dalam, dan pendingin ruangan yang cukup menyejukkan. Hal ini membuat saya kagum dengan inisiatif warga Bangkok mengantisipasi hasrat akomodasi pelancong. Saya sempat bertanya ke teman saya yang dari Jakarta, pernahkah menemui penginapan dengan harga dan fasilitas serupa di Jakarta atau di kota-kota Indonesia lainnya? Tidak pernah, jawabnya.


Rasa capek dalam perjalanan kesana-kemari sambil memanggul tas ransel menjadi tidak terasa karena kami asyik mengobrol sembari jalan dan menikmati suasana seputaran Khao San Road yang sungguh happening di malam hari. Seolah-olah kawasan ini tidak pernah tidur. Sajian musik akustik dan hentakan musik elektronik bersahut-sahutan di tengah deretan tempat makan, money changer, kios Thai massage, penjaja suvenir, dsb. Menjelang malam hari kawasan ini makin ramai nan menjelma menjadi kawasan pedestrian gemerlap penuh hingar-bingar karena ditutup bagi lalu-lalang kendaraan.

Pada hari pertama di Thailand saya terkesan dengan keterbukaan masyarakat Thailand, khususnya di Bangkok. Membuat saya berpikir lagi tentang keterkaitan sejarah dengan mentalitas di luar konteks kebijakan revolusioner. Memang ada tepatnya jika ada perbedaan antara mentalitas bangsa yang sudah pernah dan belum dijajah, baik bentuk imperialisme maupun kolonialisme. Dan hal ini diperkuat lagi dengan pernyataan teman saya di hari menjelang kembali ke Indonesia. Dia berucap, “walau cuaca panas seperti ini, mereka tidak kelihatan emosi ya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar