Minggu, 10 April 2011

Hari II: Dusit Palace & Grand Palace

Pagi di Bangkok berasa lebih lambat dibanding pagi di Indonesia. Waktu Subuh berkisar pukul 04.54, secara garis besar waktu salat mundur 30 menit dari WIB. Sama sekali tidak terdengar kumandang adzan karena muslim merupakan minoritas di Thailand (sekitar 94% penganut Buddha Teravada). Jarang sekali tersedia mushola, masjid, dan kedai makanan halal. Butuh penyesuaian khusus bagi pelancong muslim di Thailand. Makanan kemasan yang dijual di minimarket macam 7 Eleven pun sangat jarang ditemui label halal pada kemasan. Namun yang terutama, Thailand memiliki otoritas khusus yang bertanggung jawab untuk memeriksa dan melabeli halal pada suatu produk.


Khao San Road beristirahat di pagi hari, walau tidak benar-benar tidur. Namun denyut aktivitas sudah terasa di beberapa sudut jalan, mulai dari penjual menu sarapan sampai petugas jasa angkut yang menawarkan taksi dan tuk-tuk. Untuk moda transportasi yang terakhir ini sangat sering dijumpai di Bangkok. Mirip dengan bajaj di Jakarta namun mempunyai jok penumpang yang lebih lega dan nyaman. Sering pula kita temui tuk-tuk diisi dengan lebih dari 3 orang backpackers asal Eropa yang mungkin menyewanya supaya bisa berhemat dengan berbagi iuran bersama, mengingat terkadang taksi menolak angkut penumpang bila jarak tujuan terlalu dekat atau daerah yang dilalui macet total. Oleh karena dari pagi hingga sore hari Khao San Road dibuka bebas untuk lalu lintas transportasi, maka polusi dan kesemrawutan pun tidak terhindarkan.


Pagi itu kami tidak begitu kesulitan mendapat menu masakan halal karena seorang teman Thai telah memberitahu kami tempat makan halal di malam sebelumnya. Yang kami ketahui hanya satu tempat saja food court halal di seputaran Khao San Road. Terletak di sebuah gang sempit dengan kebersihan yang kurang terjaga karena kami sempat berpapasan dan melihat tikus besar di mulut gang. Hal ini tidak menyurutkan niat kami bersarapan di sana karena banyak pemandangan yang lebih “mengerikan” di Jakarta dan di Indonesia umumnya. Setelah sampai di dalam food court kami melihat sepuluh pigura gambar menu makanan yang digantung pada dinding. Semua berlabel halal. Ketika memesan, pelayan yang mendatangi kami tidak menguasai bahasa Inggris dan akhirnya lewat penunjukan gambar/nomor yang ada di gambar kami bisa memberitahukan pesanan kepada si pelayan.


Menu sarapan di Thailand umumnya mie atau tom yam, walau begitu tidak sedikit yang biasa mengonsumsi nasi dan roti. Hampir semua masakan yang kami konsumsi memiliki cita rasa asam yang menyertai, termasuk untuk sambal cair dan saus tomat/cabenya. Untuk minuman, menu teh dan jeruk sama dengan di Indonesia yang selalu menjadi andalan tiap kedai makan di samping minuman buah-buahnya. Seperti jamak diketahui bahwa Thailand merupakan sentra penghasil buah, maka akan banyak kita temui menu berbahan dasar buah. Termasuk jajanan khas pasar mereka berupa ketan dicampur buah beserta kuah beraroma yang dijual seharga 30 baht, misal: durian sticky rice dan bermacam menu dengan buah lainnya. Harga jajanan, makanan, dan minuman di Bangkok rata-rata sama dengan di Jakarta.


Rencana pertama kami di hari kedua adalah mengunjungi Grand Palace, yakni kompleks kuil utama Buddha Teravada di Bangkok. Lokasinya tidak jauh dari Khao San Road sehingga memungkinkan hanya berjalan kaki ke sana. Di sepanjang jalan, kami banyak ditawari sopir taksi dan tuk-tuk. Keberadaan mereka terasa tidak terlalu mengganggu karena tidak begitu agresif memaksa dan mengancam. Cuaca di Bangkok kala itu mendung namun terasa hangat sehingga badan lembab berkeringat. Kami menyusuri jalan lewat trotoar yang lega. Aspal jalanan mereka berwarna abu-abu terang, seperti halnya di Malaysia dan di Singapura. Sekilas membuat kesan jalanan nampak bersih dan rapi.


Di sepanjang jalan menuju Grand Palace, saya melihat kepatuhan warga dalam berlalu lintas. Tidak asal menyebrang di luar area zebra cross, kendaraan berhenti sebelum garis zebra cross, walau meski juga terlihat kendaraan umum atau pribadi yang parkir di pinggir jalan. Saya tidak menemukan tiang-tiang CCTV layaknya yang banyak dipasang di jalanan Singapura. Terdapat taman luas di depan kompleks Grand Palace, namun sewaktu kami ke sana taman yang bernama Sanam Luang itu sedang direnovasi guna mempercantik kota. Taman tersebut sebelumnya banyak dihuni para tuna wisma. Di sepanjang trotoar seberang Sanam Luang, ada pula wisata santai memberi makan merpati dengan bangku-bangku taman tersedia di pinggir trotoar.


Belum sampai ke Grand Palace, kami mendapat informasi bahwa kompleks ditutup karena ada upacara keagamaan hingga pukul 13.30. Maka dari itu, kami langsung membuat rencana pengganti dengan menuju area Dusit Palace—kompleks kenegaraan—yang jaraknya cukup jauh ke arah utara Grand Palace. Semula kami berencana naik bus untuk menuju ke Dusit Palace setelah menanyakan jalur bus kepada salah seorang pegawai yang sedang berpapasan dengan kami di trotoar. Dari percakapan ini saya baru mengetahui kalau semua bus kota di Bangkok hanya berhenti di halte dan tidak sembarangan menaik-turunkan penumpang di jalanan. Niat naik bus kota kami urungkan karena susah mencari dan jauhnya halte terdekat dari tempat kami berada.


Kami lanjutkan perjalanan kaki hingga area Democracy Monument untuk memilih naik taksi. Yang menarik dalam perjalanan ini adalah ketika kami melihat jajaran tenda menjual lembaran kertas penuh dengan nomor. Banyak pula pembeli yang menghampiri tenda mereka dengan keramaian ala pasar. Apakah itu gerangan, tanya batin saya. Setelah dilihat-lihat dan dipastikan kepada teman saya, ternyata jajaran tenda tersebut menjual lotere. Di Thailand lotere berstatus legal dan hadiah utamanya berupa uang tunai sekitar 1,2 miliar. Setelah sekali gagal menawar taksi, akhirnya kami mendapat taksi tanpa menggunakan argo dan sistem tawar-menawar di muka. Umumnya taksi enggan mengantar kami ke Dusit Palace karena rutenya melalui daerah macet.


Sampai ke Dusit Palace, kami baru menyadari bahwa kompleks kenegaraan yang dimaksud adalah area mansion dan aula kediaman kerajaan. Dengan berbekal 100 baht kita bisa memasuki kompleks penuh khazanah budaya kerajaan tersebut. Sebenarnya tiket tersebut sudah termasuk dalam paket HTM Grand Palace yang seharga 350 baht, namun karena pagi harinya sedang ditutup maka kami membayar ekstra 100 baht supaya bisa memanfaatkan waktu sembari menanti dibukanya Grand Palace di siang hari. Ada 16 bangunan/area yang bisa kita jelajahi yang umumnya berfungsi sebagai museum dan ruang pameran. Secara garis besar konsep Dusit Palace nampak sbb.,


1) Vimanmek Mansion, kediaman raja berbahan dasar kayu jati terbesar di dunia. Mulai dibangun pada masa Raja Rama V (Chulalongkorn) di tahun 1900 dan diteruskan oleh raja-raja berikutnya. Sekarang berfungsi sebagai museum, di dalamnya terdapat banyak koleksi suvenir dari berbagai negara milik Raja Rama V termasuk foto dan berbagai karya seni kriya. Arsitektur Vimanmek yang memiliki 72 ruangan dengan konstruksi dua sayap yang masing-masing panjangnya 60 meter dengan tinggi 20 meter ini mencirikan pengaruh budaya Barat. Tidak diperbolehkan membawa barang bawaan (termasuk kamera) dan alas kaki ketika memasuki mansion ini. Terdapat tur gratis berbahasa Thai atau bahasa Inggris yang dilangsungkan secara berkala.


2) Museum. Ada banyak bangunan tersebar yang dimanfaatkan sebagai ruang pamer karya seni, a.l. tekstil, kerajinan tangan, jam antik, kereta kerajaan, dsb. Kami tidak berhasil menikmati semuanya karena butuh waktu seharian penuh apabila memasukinya satu per satu. Kami hanya meyusuri museum tekstil yang ternyata berisikan produk karya SUPPORT Foundation milik ratu kerajaan. Karya tertua yang dipamerkan berusia sekitar 120 tahun yang lalu dan kebanyakan merupakan kain brokat sutera, baik yang dikerjakan di Thailand maupun dari negeri lain seperti India, Cina, Kamboja, dan Laos.


3) Ananda Samakhom Throne Hall, merupakan aula tempat pemahkotaan raja Thailand yang selesai dibangun pada tahun 1915 atau pada masa Raja Rama VI. Pembangunan membutuhkan waktu 8 tahun dengan total anggaran 15 juta baht. Arsitekturnya mengadaptasi dari konsep Renaissance Italia dan gaya Neo-Klasik.


Sebenarnya sangat sayang tidak bisa menikmati Dusit Palace secara tuntas, namun masih banyak rencana perjalanan yang menunggu untuk dijelajah. Walau belum puas berkeliling di Dusit Palace, kami memastikan diri untuk segera menuju ke Grand Palace. Kali ini untuk pertama kalinya kami mengendarai tuk-tuk. Jalannya cepat, seperti terburu-buru dengan hempasan yang terasa kasar setiap kali berbelok dan anginnya pun berhembus kencang karena tutup jok hanya berupa kanopi.


Akhirnya kami bisa masuk ke Grand Palace setelah membeli tiket. Selain fasilitas bebas masuk ke Dusit Palace, tiket seharga 350 baht tersebut juga termasuk freepass ke Pavilion Regalia (Royal Decorations & Coins). Saat kami ke Grand Palace suasana sangat ramai pengunjung dan cuaca sungguh teriknya. Tidak ada penyewaan payung di sini, namun ada fasilitas air keran siap minum di dalam kompleks. Maklumlah jika pengunjungnya padat karena Grand Palace merupakan ikon dan tujuan utama wisata di Bangkok. Kompleks ini dibangun tahun 1782, berisikan: kediaman raja, tempat pemahkotaan raja, kantor pemerintahan, kuil utama Emerald Buddha (Thai: Wat Phra Kaew), dan museum. Luasnya mencapai 218.000 m2, dikelilingi empat tembok besar yang menyerupai benteng. Di dalam kompleks ini kita akan menjumpai dua kepentingan: (1) beribadah bagi penganut Buddha dan (2) berwisata bagi para pelancong. Bagi wisatawan, tidak diperbolehkan berfoto ria di dalam bangunan ibadah/wat. Mereka dipersilakan masuk namun dengan catatan berpakaian sopan, melepas alas kaki dan topi, serta tidak berisik. Pada saat kami berada di sana banyak sekali dijumpai monk atau biarawan cilik dan dewasa karena memang bersamaan dengan penyelenggaraan acara keagaaman.


Seperti konsep relief kompleks candi di Pulau Jawa pada umumnya, Grand Palace juga menorehkan kisah Ramayana di tembok yang mengelilingi wat. Bukan suatu pahatan arca batu di sini, melainkan goresan lukisan. Terdapat pula maket/model Ankor Wat (Kamboja) yang berusia lebih tua dibanding Wat Phra Kaew di Grand Palace. Tidak heran jadinya apabila kita sadari ada kemiripan pola konstruksi antara Grand Palace dan Ankor Wat. Apabila dilihat pada saat yang tepat dan dari sisi kejauhan, bangunan keseluruhan Grand Palace akan nampak berkilauan diterpa cahaya matahari karena ornamen yang menempel pada tiap-tiap bangunannya warna-warni memantulkan cahaya. Di setiap bangunan kerajaan dalam Grand Palace akan kita lihat prajurit sedang menjaga pos pintu masuk. Banyak wisatawan berfoto ria bersama prajurit yang sedang bertugas itu. Berkunjung ke Grand Palace jelas membutuhkan banyak waktu karena luasnya kompleks. Ketika hari menjelang sore, kami memutuskan kembali ke Khao San Road untuk beristirahat karena harus menyimpan energi menjelang rencana-rencana berikutnya. Tentu sambil mengisi waktu dengan mengobrol bersama teman Thai lagi.

1 komentar:

  1. Thank you buat sharing info nya. Ulasannya lengkap banget bwt sya yang mau ke Bangkok juga.
    jadi ada gambaran,ga blank2 amat ntar dsna..

    BalasHapus