Sabtu, 20 Juli 2013

Resensi Film: Tonari No Totoro/My Neighbour Totoro (1988)

Dengan bangga saya sebutkan kalau Totoro menjadi salah satu film (karya si master kartun Hayao Miyazaki) favorit saya. Durasinya yang sangat bersahabat yakni tak lebih dari 90 menit sangat sempurna mengemas plot sederhana yang ditawarkan menjadi sebuah suguhan magis pengubah suasana hati menjadi lebih cerah ceria.

Sebagian besar plot Hayao menampilkan sisi kepolosan bocah dan eksplorasi lingkungan hayati dengan segala penghormatan terhadap kepercayaan. Di Totoro pun polanya masih demikian. Seorang ayah dan dua puterinya sedang pindahan rumah. Tempat baru mereka berdiri tengah pedesaan nan asri, dikelilingi pepohonan rimbun. Mereka hidup di antara masyarakat petani-peternak alami, yang tentunya sangat bersahabat dan peduli dengan alam.

Tiap bingkai gambar di film ini begitu deskriptif. Seolah-olah kita sebagai penonton bisa menghipnosis diri ikut menghirup murninya oksigen di sana. Sebagai catatan, film ini masih bertenologi 2D sederhana. Sebagai penikmat film yang sudah kerap menjajal teknologi 3D, saya cukup takjub dengan keindahan gambar film ini.

Mereka bertiga menanti kesembuhan sang bunda yang sedang dirawat di rumah sakit. Menyaksikan keakraban interaksi antara kakak-adik serta ayah dalam keluarga kecil ini pasti akan membuat kita semua iri. Betapa bahagia dan saling menyayanginya mereka bertiga. Tentu, ada pengalaman fantasi yang dibubuhkan Hayao. Di film ini, kita akan diajak menjelajah terusan semak belukar di bawah pohon raksasa yang membawa kita pada pertemuan dengan satu tetangga baru bernama Totoro.

Ia berbentuk segitiga tambun dipenuhi bulu lembut. Punya kumis jarang ala kucing. Berekor bulat asal nyembul. Lucu dan menggemaskan sekali. Apalagi ketika ia menguap. Si bungsulah yang pertama menemukannya, lalu dilanjutkan oleh si kakak. Sayangnya, si ayah tak pernah bisa melihatnya. Mungkin, ini embarkasi yang sengaja dibangun Hayao. Betapa polosnya anak-anak, sehingga mereka bisa melihat dan lebih peka terhadap hal-hal baru yang bakalan hilang ditelan asas rasionalitas pribadi dewasa.

Pengalaman pertemanan si kakak-adik ini dengan Totoro menjadi porsi utama pertengahan kedua film. Siapa coba yang tidak pengin punya tetangga yang selucu boneka jumbo tapi imut dan baik hati seperti Totoro? Ada banyak momen yang membuat saya ingin sekali ikut nyemplung ke dalam film. Salah satunya yakni mencicipi bus kucing-kuning terbangnya yang berukuran jumbo. Saya ingin sekali ikut duduk di atas sofa empuk berbulu halus di dalamnya. Alamak!

Satu jawara lain persembahan dari Studio Ghibli. [A] 20/07/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar