Minggu, 05 Februari 2012

Resensi Film: The Descendants (2011)

Ini dia film drama terbaik tahun 2011 versi Golden Globe bersanding dengan The Artist sebagai film musikal atau komedi terbaiknya. Sebelum keluar sebagai jawara pun saya sudah mengamati skornya hasil konsensus kritikus film. Lumayan tinggilah… Dengan berposterkan George Clooney berpakaian ala Hawai sedang duduk di bangku bawah payung peneduh menengok anak-anak yang berada jauh di belakangnya sedang bermain-main di bibir pantai, film ini mengundang tanya serta belum menampakkan jelas ide cerita secara keseluruhan. Malah lebih karuan jika posternya seperti sinetron-sinetron Indonesia (amit-amit, astaghfirullah…) macam Putri yang Ditukar dengan memajang semua pemain ayu-gantengnya membentuk pola barisan ujung panah. Biasanya yang terdepan merupakan pemain utamanya (baca: yang lagi baik daun Nikita Willy). Yang jenis-jenis poster macam ini barulah patut dicurigai dan dihindari.

Oh, ternyata The Descendants memang berujar seperti judulnya, yakni keturunan atau anak cucu. Bagaimana sih kelakuan dan dinamika hidup keturunan zaman sekarang? Lewat keluarga Clooney, penonton diajak menyoroti dan berdiskusi sekaligus. Karakter utama yang diperankan Clooney merupakan pemegang wali ahli waris dari keluarga besar campuran leluhur pribumi Hawai dan pendatang. Tanahnya mahaluas. Tak semua saudaranya sukses, ada pula yang doyannya menghabiskan uang. Tibalah pada saat keluarga ini dihadapkan pada tawaran menggiurkan nan menjanjikan. Akan dipertahankan atau dijualkah harta warisan mereka? Clooney memerankan karakter yang untuk ukuran konglomerat memilih hidup tak foya-foya, mandiri, tak ingin menyandarkan hidup dari warisan (nyindir para pengharap warisan bo’), makanya terkesan pelit. Bukan sebuah keputusan sulit sebenarnya untuk Clooney jika mengahadapi pilihan itu dalam kondisi normal, sekarang ia sedang dalam masalah berat…

Masalah itu menggelayut sejak awal film. Isteri-kurang-terperhatikan dari Clooney terbaring koma di rumah sakit karena kecelakaan motorboat. Kondisi ini menggiring Clooney pada suasana hati dan emosi yang gampang tergoyahkan. Belum lagi ketika diberi tahu vonis tanpa harapan dari dokter perawatnya. Mulailah plot perekat mengalir… Mengabari satu per satu keluarga dan teman dekat isterinya atas hal tersebut supaya ada kesempatan bagi mereka mengucap selamat tinggal. Ya ampun, adegan demi adegan setelahnya malah menari-nari menghempas penonton dari birunya rasa haru dan berkembang menjadi cerita komedi sekaligus pilu, ya ala Stephen Chow dalam dosis yang sangat rendah.

Komedi yang ditawarkan The Descendants cukup elegan karena ia berimbang. Maksudnya, tak hanya menertawakan orang lain tapi juga sekalian menertawakan diri sendiri. Menurut saya itu susah. Lihat saja dalam adegan ketika Clooney meluapkan emosi di depan isterinya yang terbaring koma, melampiaskan kemarahan kepada isterinya, namun kemudian merelakan bahkan memaafkan. Pada satu momen, manusia memang mendua (fase lebih ringan munafik). Ia mampu berani jujur sepenuhnya ketika lawan bicara tak kuasa membalas atau bereaksi. Situasi itu takkan mudah tercipta ketika dialog berjalan dalam kondisi normal.

Lewat perkawinan antara isu ketamakan manusia dengan menjual warisan, isu lingkungan dengan membiarkan alam apa adanya tanpa ditusuk-tusuk beton paku bumi, dan drama elegy dalam rumah tangga, The Descendants teracik sempurna pada takaran ringan. [B/A] 05/02/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar