Selasa, 14 Februari 2012

Resensi Film: The Skin I Live In (2011)

Sinopsis film ini tak hanya membicarakan ihwal seorang dokter bedah transplantasi ahli yang sedang bereksperimen. Jauh, sangat jauh sekali dari ide sesederhana itu. Tapi sebagai tolak awal ceritanya, boleh deh kita memulainya dari situ. Si dokter yang diperankan secara dingin oleh Antonio Banderas itu menyimpan misteri masa lalu yang siap membuat penonton terpaku selama 2 jam guna menguak segala tabir.

Si dokter merawat intensif seorang pasien cewek di dalam rumah kliniknya. Bersama sang Ibu, si dokter terus mengawasi perkembangan si pasien yang sedang menjalani percobaan transplantasi kulit. Awalnya memang serba tak jelas memang alasan apa saja yang membuat pasien tersebut dikurung dalam sebuah kamar mewah dengan isolasi yang cukup ketat, tentunya selain karena mereka sedang dalam misi eksperimen tertutup. Namun makin ke belakang, makin karuanlah identitas si pasien dan rencana si dokter.

Alur cerita film ini maju-mundur, tapi jangan khawatir karena penanda masanya jelas dan mudah dipahami. Yang cukup kurang mudah dipahami adalah sejarah si dokter itu sendiri karena secara agak mengejutkan, khususnya bagi saya, tersibak dalam bagian jelang pungkasan film. Tentu ini menjadi kehebatan Pedro Almodovar sebagai strada mampu membungkus karya drama thriller-nya secara rapi dan mengecoh akselerasi mekanisme tebakan penonton.

Ternyata setelah film selesai, kita baru tahu banyak pesan moral yang ingin disampaikan oleh Almodovar. Atas nama keseruan, saya tak akan singkap apa saja pesan moral itu dalam ulasan ini. Yang jelas, film ini menjelaskan tentang kulit tubuh kita—sebagai hardware—penutup dari jiwa—sebagai software—yang tak bakal bisa ditukarkan oleh apapun itu bagaimanapun caranya. Inilah tontonan kritis pereaksi sikap egosentrisme manusia. [B/A] 11/02/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar