Senin, 10 Oktober 2011

PELIT

Pernah punya teman atau kenalan yang doyan melayangkan kata pelit jika ia tak ditraktir? Saya percaya, setiap kata itu adalah cerminan karakter pribadi. Pelit. Seberapa pun nilainya si pengidap penyakit ini akan tetap arogan. Tak bisa ditawar, seolah-olah itu gengsi bahkan harga diri. Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya dibedakan mana itu pelit mana itu hemat karena dua hal ini sering berebut porsi debat.

Hemat kalau di negeri jiran kita Malaysia disebut jimat bagi saya merupakan gaya hidup disiplin dan terencana. Ia beda dengan pelit karena punya sifat yang tak mengganggu hak lain. Gampangnya begini, dua mahasiswa kos pergi makan bersama di kantin. Satunya baru dapat undian “hujan beliung runtuh (whatever)” rezeki semilyar sedang yang satunya belum dapat kiriman wesel orang tua. Habis makan si pemenang undian bayar hanya untuk makanannya sendiri dan tidak mentraktir temannya yang lagi bokek. Apa dia pelit? Bagi saya, ya jelas tidak. Kalau mau ditraktir ya yang minta coba bilang saja apa adanya. Kalau beruntung ya dikasih, kalau tidak ya tak usah mencak-mencak. Mau ngambek? Aneh.

Nah, pelit itu lebih ke itung-itungan tapi tak peduli hak orang lain dan bahkan melanggar. Semisal lembur paksa tak dibayar, tak diberi makan, pun tak ada ucapan terima kasih apalagi kata maaf. Beda pelit dan hemat bakal terlihat dalam posisi kita menawar harga. Yang pelit pasti tak bakal memaklumi keberuntungan atau faktor-X, sedang yang hemat masih mau memaklumi. Misal, perubahan harga karena beda hari, beda stok, dan sebagainya. Yang pelit pasti bakal menghakimi si penjual itu nakal jika tak mendapat harga yang termurah, sedangkan orang hemat masih mau menerima dan tinggal pindah dan cari ke penjual lain saja. Yang hemat memeringkatkan factor tak boros di atas factor perbedaan harga. Dalam beberapa hal tak semua orang diperlakukan sama sebagai pembeli. Dan itulah rezeki. Orang yang menjengkelkan kebanyakan malah tak mendapati diskon yang diinginkan.

Tujuan antara hemat dan pelit pun berbeda makanya jalurnya juga demikian. Terkadang saya hanya tertawa (jika keterlaluan, jadi prihatin) dengan sebagian orang yang menganggap kalau tak pernah mentraktir itu pelit. Ya ampun, dangkal sekali pemahaman mereka. Seraya sambil berdoa kepada Allah swt supaya orang-orang yang demikian diberi hidayah. Amin… Percaya atau tidak, orang-orang yang demikian itu banyak dirasa menyebalkan ketimbang menyenangkan. Hemat bermuara investasi, pelit bermuara egomaniak (pemuasan hasrat diri). Tiba-tiba saya jadi ingat Bang Madit (Islam KTP)…

1 komentar:

  1. seorang tetangga saya bahkan terpaksa tidak menggunakan angkot selama sebulan hanya untuk mentraktir temannya satu kos karena tetangga saya tidak mau dipanggil "Si Pelit" lagi. Sama sekali tidak manusiawi. ayo tinggalkan kata pelit!

    BalasHapus