Rabu, 12 Oktober 2011

Resensi Film: Oldboy (2005)

Saatnya saya harus mulai melirik film Korea. Betapa tidak? Film besutan Chanwook Park ini membuka mata dan hati saya (sepertinya saya mulai bombastis…) Jangan salah kira dulu, film berdurasi hampir genap 2 jam ini melebihi kebutuhan sensasi sinematik saya. Bak putaran sentrifugal, ketika saya hampir meraih pusat pusaran selalu saja ekor bidiknya menjauh.

Pertama-tama, cerita filmnya. Sangat sederhana dan agak gila. Seorang pria disekap secara misterius dalam sebuah kamar berfasilitas lengkap tanpa ia ketahui siapa pelakunya, apa alasannya, dan akan sampai kapan ia di sana. Hari demi hari berlalu, bulan, hingga tahun. Sampai dengan 15 tahun lamanya, ia tahu-tahu dibebaskan. Jangan harap begitu saja ia bebas, ternyata kehidupannya masih terus diintai si penyekap. Ada apa ini? Kenapa harus menunggu 15 tahun?

Misteri terus menggelayuti penonton Old Boy. Paling tidak, itu yang saya rasakan. Walau sebenarnya tak tahan melihat beberapa adegannya yang kejam dan bengis. Darah seamsal sirup. Kalau bukan karena bangunan teka-teki yang kuat, saya pasti sudah pensiun dini menikmati film KorSel ini. Pertanyaan apa dan kenapa terus-menerus meneror si korban. Sampai-sampai tertanamlah dendam kesumat di dadanya. Keluarganya hancur, isterinya dibunuh, fitnah dilayangkan kepada dirinya sebagai pembunuh isterinya. Sang anak tak diketahui secara jelas karena hanya ada kabar ia diadopsi oleh keluarga Eropa. Tak hanya karakter korban yang penasaran, saya pun demikian.

Sinematografi luar biasa menemani saya sejak awal hingga akhir film. Pemilihan warna, angle, teknik handheld, sampai fitur dramatisasinya… teramat pantas dan pas. Kapan ia mewakili sudut personal, kapan ia harus ke salon fotografi, sang strada paham betul memilihnya. Musik pengiring pun tak mau kalah mendalamnya. Bahkan, sejak detik pertama film bermula. Tak hanya komposisi orkestra (beberapa dari notasi judul terkenal) namun juga alunan kontemporer berpadu menyatu dengan babak film.

Yang perlu saya acungi dua jempol selain untuk strada Park yakni pemeran pria utamanya. Aktingnya menggetarkan, menjadi karakter utuh seorang korban kejahatan yang sangat langka (bahkan mungkin belum pernah ada) dalam sejarah kriminalitas. Adegan seks eksplisit di dalam film pun tak mubadzir dan terampuni karena amat fundamental bagi perjalanan plot berikutnya. Saya pikir, kalau adegan seks tersebut dienyahkan malah bakal kurang terasa efek pilunya.

Secara konten, banyak pesan yang ingin disampaikan film ini. Tentang hak hidup manusia. Tentang mulutmu harimaumu. Tentang cinta. Dan silakan Anda cari sendiri hal-hal lainnya. Setelah menuntaskan film ini, saya mengumpat. Saya tak sudi menonton berulang kali. Ini mencetak pengalaman baru bagi saya. Satu lagi sensasi aneh dari film aneh yang bakal menyejarah dalam jajaran daftar film tontonan saya. [A] 11/10/11

2 komentar:

  1. yang main siapa aja Mas? penasaran jadi pengen nonton juga

    BalasHapus
  2. nonton film ini bisa dibilang orgasme-sinematik (haha istilah ngawur) ada film Jepang yang mirip. The Confession, dg soundtrack dr Last Flower-nya Radiohead...

    BalasHapus