Minggu, 18 September 2011

Resensi Single: Coldplay - Paradise (2011)

Single kedua dari album Mylo Xyloto (belum diketahui apa artinya) rilisan bulan depan ini sudah banyak diunduh baik secara resmi maupun “ilegal”, setelah sebelumnya kelompok yang divokali Chris Martin mengorbitkan Every Teardrop is a Waterfall sebagai single pertama. Satu single saja mungkin tak cukup merepresentasikan ide dan konsep apa yang ditawarkan Coldplay pada album terbarunya. Makanya mungkin setelah single kedua dirilis, banyak fans dan penikmat musik umum bisa meraba-raba “dagangan” Coldplay di tengah iklim industri musik yang belum berhasil memunculkan fenomena baru lagi setelah demam Lady Gaga, kepolosan Taylor Swift, histeria Justin Bieber, beserta keremajaan Katty Perry, dkk.

Sepertinya takkan ada harapan cerah dari gelombang Britpop setelah mendengar single Paradise. Berdurasi kurang dari 5 menit dengan overture sekitar 1 menit yang mana 30 detik pertama berupa alunan orkestra ringan bernada Viva La Vida versi lemas diiringi hembusan percikan ringan akor ala musik gereja. Kemudian dimentahkan dengan masuknya suara petikan gitar bas yang sedikit berat di semacam komposisi musik yang bagi saya milik Roxette (Milk, Toast, Honey) banget namun dalam versi megahnya. Setelah puas menyajikan semenit musik pembuka yang agak mengejutkan karena terasa sebegitu popnya karya salah satu band favorit saya ini, Chris Martin memulainya dengan “when she was just a girl, she expected the world…” Barulah saya mulai berkonsentrasi pada lirik.

Setelah mengetahui keseluruhan lirik, saya dapati kekecewaan kedua. Tak ada yang spesial dengan lirik Paradise. Ia hanya menyampaikan pandangan terhadap dunia lewat kacamata seorang gadis kecil, yang berharap sesuatu surgawi. Tadinya saya berharap ada letupan emosional atau pemikiran di balik lirik Paradise guna menutup faktor biasa dalam musik pembukanya. Ternyata tidak. Hal ini berbeda sekali ketika saya mendengar untuk pertama kali Violet Hill dalam album Viva La Vida yang sebenarnya juga biasa saja dari segi syair namun sensasi aneh dan kelam musiknya kentara sekali hingga memaksa diputar berulang kali supaya terbiasa. Kondisi Paradise mirip-mirip In My Place ketika diluncurkan sebagai single pertama atas A Rush of Blood to the Head.

Hingga pada saatnya saya baru tersadar, bahwa dalam Paradise Chris Martin dkk menginginkan sebuah karya (maunya) anthemic yang bisa dinyanyikan bersama-sama di stadion dengan intonasi teriakan khas Michael Jackson bersama suara-suara “malaikat-malaikat” kecilnya atau Haddad Alwi bersama anak soleh-solehahnya dengan lirik “para-para-paradise… ow, ow, o… ow, ow, ooohhh” Hanya inikah yang mereka kehendaki dalam Paradise? Kalau demikian adanya, saya kecewa berat bin akut bin menjadi-jadi.

Seperti biasa, secara keseluruhan tiap karya Coldplay bukanlah ecek-ecek atau asal laku. Mereka punya kelas dan itulah yang membuat demarkasi ekspektasi. Sejak Yellow membahana disusul album A Rush of Blood to the Head yang kuat beserta karya-karya berikutnya yang agak progresif (terutama dalam Viva La Vida), Coldplay membuktikan eksistensi kualitas musik mereka. Sampai pada tragedi tuntutan plagiarisme untuk lagu Viva La Vida oleh joe Satriani menghinggap, mereka tetap berdiri. Sudah lima album dihasilkan (termasuk Mylo Xyloto). Sejauh ini Coldplay berhasil membangun basis fans yang kuat. Saya melihat Mylo Xyloto bakal menjadi hantaman dan ancaman serius bagi basis fans. Generasi dan komunitas fans bisa jadi akan berganti. Saya pribadi, lewat mendengarkan Paradise, telah menggeser peringkat Coldplay dari fav-list. Tentu mereka turun dalam pemeringkatan versi saya.

Dalam kekecewaan yang agak mendalam, saya tetap memutar Paradise berulang kali. Seperti saya memilih lagu dalam playlist reguler, which make no deep senses at all… [C+] 17/09/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar