Senin, 05 September 2011

PENAMPILAN SEBAGAI WUJUD IDENTITAS: TINJAUAN HISTORIS

Tulisan ini terpantik oleh salah satu artikel dalam buku suntingan Henk Schulte Nurdholt berjudul Outward Appearances yang ditulis oleh Kees Van Dijk dengan titel Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi. Saya tertarik karena pembahasannya yang inkonvensional dan disampaikan secara santai namun sarat wawasan. Kajian historis di dalamnya berbatasan spasial wilayah Indonesia dengan batasan temporal paralel memanjang sejak era prakolonial hingga Orde Baru.

Interaksi tiga dunia kultural: Pribumi, Barat, dan Muslim
Dinamika interaksi kultural lewat penampilan dipertunjukkan dalam pilihan kelengkapan pakaian, seperti: kerudung, rok panjang, dasi, celana, juga jas setelan gaya Barat. Alasan mengapa masing-masing kelompok sosial memilih kelengkapan tertentu sering tanpa disertai landasan yang jelas. Bisa merupakan sebuah pembeda kawan atau lawan, pun wujud sikap. Pada awal abad ke-20, misalnya, pemakaian celana panjang dibandingkan dengan sarung lantang ditentang oleh banyak Muslim di Indonesia. Mereka juga menolak dasi yang banyak dipakai orang-orang Indonesia progresif. Penutup kepala dan alas kaki tak luput dari pemaknaan simbolistik. Kain dan turban mencerminkan golongan Muslim. Kopiah dan peci hitam merupakan milik gerakan nasionalis. Topi Barat dan topi resmi menjadi representasi hegemoni kolonial. Alas kaki pun demikian, ketika bertelanjang kaki bisa berkonotasi spesifik mewakili dunia pedesaan yang mana di perkotaan banyak warganya memakai sandal, sepatu atau bot.

Kolonial
Sebelum tahun 1900, pilihan gaya penduduk biasa di Hindia-Belanda dibatasi aturan-aturan khusus buatan pemerintah kolonial tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dikenakan. Kelompok sosial yang diperkenankan memakai busana Barat adalah mereka yang dianggap erat dan fungsional kaitannya dengan pemerintah kolonial semisal kaum ningrat dan umat Protestan, selainnya wajib mengenakan pakaian daerah atau pakaian “nasional’ mereka. Pemerintah kolonial juga memanfaatkan busana sebagai media kontrol. Pada tahun 1658, suatu ordonansi dikeluarkan berisi tentang larangan orang Jawa di Batavia berbaur dengan “bangsa-bangsa” Indonesia lainnya. Mereka harus memakai kostum mereka sendiri dan tidak boleh memakai pakaian adat kelompok etnis Indonesia lain. Tujuan pemerintah kolonial menerapkan hal ini supaya mempermudah klasifikasi/pembedaan beragam kelompok etnis dalam fungsi pengawasan. Kenyataan ini baru berangsur berubah sejak demam Politik Etis dalam awal abad ke-20. Para pelopor gerakan nasionalis mulai banyak yang memakai kostum bergaya Barat.

Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan, pakaian Barat atau “modern” telah menjadi pakaian umum pria bagi elit politik nasional. Simbol nasionalisme tidak tertanam pada tipe pakaian khusus, melainkan pada peci. Soekarno menceritakan bahwa ia sendirilah yang menganugerahi peci dengan arti khusus, sebagai jembatan diskusi panas antara elit berorientasi Barat dan garda nasionalis. “Kita memerlukan sebuah simbol bagi kepribadian Indonesia. Topi jenis ini, sama dengan yang dipakai oleh para pekerja biasa bangsa Melayu, asli untuk rakyat kita. […] Marilah kita menegakkan kepala tinggi-tinggi mengemban topi ini sebagai symbol Indonesia Merdeka” (Adams, 1966: 51—52).

Orde Baru
Soeharto jarang muncul di depan publik mengenakan seragam militer, sesekali memakai kostum Jawa tradisional. Ia lebih memilih mengikuti praktik di masanya yang tergantung pada keadaan, mensyaratkan setelan Barat, celana, dan kemeja batik, atau setelan safari. Pakaian nasional yang didukung dari waktu ke waktu dalam publikasi-publikasi dan pengumuman-pengumuman pemerintah tidak pernah jelas. Faktor ekonomi atau kekayaan menjadi lebih nampak jelas dalam periode ini yang ditandai dengan munculnya kaum orang kaya baru (OKB).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar