Senin, 12 September 2011

Resensi Film: Persepolis (2007)

Terima kasih untuk Metro TV yang dalam acara mingguannya World Cinema memutar Persepolis. Nonton gratis deh jadinya… Kala menonton, saya bersama mas dan ibu. Mas saya syok karena malam-malam kok nayangin film kartun. Saya pun demikian. Berbeda dengan ibu saya yang biasa-biasa saja menanggapinya. Batin saya berkata, pasti ini bukan kartun sembarang cerita.

Benar adanya. Persepolis memang kartun semipolitik nan menggelitik. Sejak awal, desain produksinya menarik. Memang khas film Prancis sih, jadi mungkin jika dibandingkan dengan film-film Prancis ya biasa aja. Format kartun dua dimensi dengan sentuhan sedikit tiga dimensi ini mengisahkan perjalanan intelektual bocah gadis Iran hingga menjadi wanita imigran di benua biru (Eropa).

Ia hidup di lingkungan keluarga progresif alias kontrakonservatif. Dalam film, nampaknya strada memilih jalan hitam-putih untuk menajamkan perbedaan ideologis antara pandangan mikro dan politik negeri Iran yang terlalu digambarkan represif. Keluarga ini secara tak langsung membentuk karakter si bocah gadis ini untuk bermental pemberontak. Menimbang ketidakcocokan situasi negara bagi perkembangan puterinya, maka sang orang tua mengirim si bocah gadis ini hidup di Eropa. Sebuah metafora impian kebebasan. Apakah kebebasan lantas kan didapat?

Yang saya suka dari film ini adalah niatnya yang tak tanggung-tanggung menampilkan kekirian ideologi, lewat beberapa pandangan yang dikemas secara serius dan komedikal. Beberapa adegan imajinatif ekstrem khas bocah cukup menggelikan. Yang saya kurang senangi dari Persepolis adalah tingkat konsistensi plot yang tak terjaga. Awalnya seru, tengahnya luntur, akhirnya pupus. Yah, inilah film dengan keutamaan pikiran. Rasa seakan-akan tak terbelai. Bonus utama dari film ini adalah referensi atmosfer kehidupan sosiopolitik bernegara di daratan eks-Persia. [B-] 11/09/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar