Minggu, 27 Maret 2011

Resensi Film: 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (2010)


Sebuah judul yang lebih menarik ketimbang titel asli adaptasinya. Diangkat dari novel dwilogi laris karya Ben Sohib berjudul “The Da Peci Code” dan “Rosid & Delia”. Karakter sentralnya Rosid, pemuda muslim seniman keturunan Arab-Betawi yang terobsesi menjadi sosok WS Rendra di tengah lingkup pemuda-pemudi yang menyukai hiburan instan. Delia, seorang pemudi aktivis sosial beragama Katolik keturunan Manado, tertarik dengan pribadi Rosid. Mereka saling cinta.

Rosid membuat kesal ayahnya lantaran susah disuruh berpeci. Belum lagi rambut kribonya dianggap menjadi penghalang Rosid berpeci, maka ia pun juga diminta sang ayah mencukur rambut ala senimannya itu. Bagi sang ayah, peci merupakan simbol kesalehan muslimin sedangkan Rosid menganggap peci bukanlah tuntunan agama melainkan produk budaya. Belum masalah peci kelar, sang ayah dihadapkan lagi oleh percintaan beda keyakinan antara Rosid dan Delia. Muncullah kemudian ide menjodohkan Rosid dengan pemudi muslim bernama Nabila, yang ternyata juga menaruh hati kepada Rosid jauh sebelum acara perjodohan.

Sebagaimana Cin(T)a, film ini mengisahkan percintaan beda keyakinan. Tapi minus maunya cerdas, prinsipil, dan penuh filosifis. Saya menontonnya sebelum Cin(T)a, otomatis kesan yang membekas lebih “at first sight” ditambah pula dengan gimmick peraih film terbaik Piala Citra 2010. Yang saya sukai dari naskah film ini adalah dialognya yang membumi. Terbuka wadah toleransi dalam tiap kontak Rosid dengan Delia. Begitu rasionalnya mereka hingga makin lama menguatkan spiritualisme masing-masing. Film ini lebih memilih ending yang jelas. Tak perlu tanda elipsis. Walau awalnya saya pikir mengambang lebih elegan, namun paket akan komplit untuk sebuah komedi romantis apabila case closed. Toh, pilihan tetap harus dipilih.

Kembali mengusik Piala Citra 2010. Bila Juri FFI 2010 memilih 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (321) sebagai film terbaiknya, saya berbeda. Alangkah Lucunya (Negeri Ini) jauh berada di atas nomine lain. Untunglah 321 beda kelas dengan Film Terbaik FFI 2006 (alm.) Ekskul. [B] 27/03/11

Kamis, 24 Maret 2011

Resensi Film: Cin(T)a (2009)


Ini bukan lagu populer alay yang dieja c-i-n-t-a. Ini sebuah film dewasa yang maunya nampak cerdas, prinsipil, dan penuh filosofis tentang cinta beda agama. Cina yakni sebuah nama milik mahasiswa Nasrani peranakan Cina yang tertarik dengan Annisa, seorang mahasiswi muslim etnis Jawa ex-seleb berlatar belakang keluarga broken-home. Kisahnya seputaran bahasan plus-minus agama masing-masing. Mereka pun bertanya-tanya kenapa Tuhan menciptakan perbedaan kalau hanya mau disembah lewat satu cara. Berbekal slogan God is a director, film ini membuat kesan kontraproduktif terhadap rekanan frasa lainnya macam God is a DJ dkk.

Diselingi cuplikan-cuplikan komentar dari pasangan nyata beda agama di tengah putaran film membuat cin(T)a seolah-olah pede melegitimasi kelumrahan pasangan beda agama. Bagi saya, cuplikan macam inilah yang menjadi poin utama film. Yang buat membosankan adalah terlalu egoisnya diskusi antara dua orang yang (harusnya) saling dimabuk cinta ini. Parahnya lagi, ikatan kimiawi di antara mereka tak tercitra kuat.

Kurang sedapnya harmoni asmara dan nihil hal baru ihwal cinta beda agama yang ditawarkan dalam film, mendorong saya berbulat tekad mengucap maaf. Saya harus jujur kalau kecewa dengan waktu dan konsentrasi yang telah saya curahkan selama sekitar 1,5 jam. Padahal opening scene, desain produksi, dan sinematografinya menjanjikan. Lagu-lagu dari Homogenic dipasang terlalu tamak. Ini film atau album video klipkah? Saya pikir “T” pada cin(T)a berarti Tuhan. Ternyata “tawar”. [C] 23/03/11

Selasa, 22 Maret 2011

Resensi Film: The Fighter (2010)


Satu lagi judul dari nomine film terbaik Oscar 2011. Mau uppercut hebat? Tonton film ini. Berdasar kisah nyata tentang seorang petinju Amerika bernama Mickey Ward (yang aslinya dieja tanpa “e” alias Micky) bersama pelatih yang bukan lain merupakan kakaknya sendiri Dicky Eklund, seorang mantan petinju yang pernah meng-K.O. Leonard Sugar Ray. Berdua menyongsong puncak karier sang adik. Kakak beradik ini tinggal di Lowell, sebuah kawasan yang konon dulunya terkenal dengan pusat revolusi industri. Letaknya di pinggir kota dan sekitar tahun 1993 kondisinya sedikit menyedihkan karena minus kebanggaan.

Micky hidup dalam keluarga besar. Punya kakak superbanyak yang rata-rata berstatus tak jelas dengan ayah pengalah karena tak punya posisi tawar, serta ibu yang keras dan bertindak layaknya inkubator merangkap manajer tinju bagi putera-puteranya. Perjalanan karier tinju Micky berat. Tak pelak karena kakaknya selalu telat melatih lantaran asyik “ngisap” bersama teman-temannya. Kasih sayang si Ibu terasa kelewat lebih kepada sang kakak. Serta kakak-kakak perempuan Micky lainnya nampak tak perlihatkan dukungan tulus kepadanya. Hanya ayah dan pacar yang mendukung karier mandiri Micky. Akhirnya Micky pun tentukan jalur karier mandiri. Pilihan ini langsung menghadapkannya pada posisi sulit. Sebuah syarat yang tak membolehkan lagi sang kakak dan ibu campur tangan dalam tim tinjunya, yang selama ini selalu berada di sampingnya. Jadilah dilema diri.

Ajaibnya sewaktu menonton film ini saya lupa dan tak cepat-cepat membandingkannya dengan The Wrestler yang sama-sama drama berlatar tokoh utama petinju dalam perban problema-keluarga akut. Dari sini jelas The Fighter punya gagasan cerita yang kuat. Sebuah ekspos ironi dalam ego diri yang mempertanyakan di manakah kasih sayang berada. Apakah dari keluarga atau dari pihak luar? Tak bisakah keduanya yang bermusuhan bisa dipersatukan bila mereka memang benar-benar cintai kita?

Christian Bale yang memerankan Dicky sukses besar membuat karakter yang ada jadi miris dilihat. Dari seorang pahlawan jadi pecundang kemudian bermetamorfosis jadi “malaikat”. Adegan yang paling menyentuh hati saya adalah ketika si Ibu—yang diperankan cukup eksplosif oleh Melissa Leo—dan Dicky bareng-bareng menyanyikan lagu I Started a Joke di dalam mobil ketika keduanya dalam keadaan meng/di-kecewa-kan satu sama lain. Ada juga adegan singkat pengharu biru yakni ketika di akhir film Dicky memberi testimoni kepada Micky. Gila, membekas rasa!

Lewat warna separasi sinematografi “live moment” yang tajam dan supervisi lagu-lagu latar khas sasana tinju, The Fighter menjadi simbol casing tak bisa mewakili isi. Bukan karena akhir bahagia yang membuat kita menyenangi sebuah film, tapi proses untuk menjadi bahagialah yang selalu memikat hati untuk mengapresiasi kehidupan. The Fighter membuktikan itu. [A-] 21/03/11

Resensi Film: Inception (2010)


Mimpi berlapis-lapis. Ngeri saya membayangkannya. Strada Christopher Nolan datang dengan ide liar yang hanya dia sendiri bisa mempertanggungjawabkannya. Di sini ada Cobb, seorang agen pencuri ide lewat mimpi seseorang, sedang berjuang memaafkan diri dari rasa bersalahnya atas kematian isteri tercinta dan berusaha kembali ke negeri asalnya di USA demi berkumpul kembali pada putera-puteri tersayang. Di sana ia jadi buronan karena dituduh membunuh isterinya. Agaknya tak perlu meributkan detail premisnya karena terasa lemah di sana-sini. Di Inception, Nolan lebih mementingkan imajinasinya yang membumbung tinggi dibanding motif drama.

Secara keseluruhan, Inception ibarat kawinan ala Armageddon (maaf, sebenarnya kurang pas) dan Matrix. Ada proses rekrutmen tim dan permainan alam mimpi. Bukan pula surealisme karena di sini mimpi menjadi pengacau pikiran. Dunia nyata bisa terasa bolak-balik. Mana yang nyata, mana yang mimpi? Disorientasi realita. Sebuah tim disewa pengusaha besar guna menanam ide kepada rival bisnisnya lewat media mimpi. Bagi Cobb, kesempatan ini menawarkan imbalan yang penting karena memungkinkan ia kembali bisa bertemu buah hati. Mulailah episode adaptasi, perencanaan, dan eksekusi.

Adegan aksi demi aksi dan tata artistik konstruksi alam mimpi membuat saya berdecak kagum. Betapa mimpi bisa dibuat seperti mainan macam bongkar pasang. Mimpi dalam mimpi dan bermimpi lagi digambarkan cukup bisa dipercaya nan meyakinkan, jadi pemirsanya pun bisa nikmati aksi sepanjang film. Padahal faktor kepercayaan inilah yang sangat susah dibangun oleh sebuah film visioner. Jelas, Inception jadi pemakalah seksi karena presentasinya luar biasa canggih dengan ide yang cukup orisinil. Silakan menontonnya dua, tiga kali, atau lebih supaya lebih bisa mendalami. Dijamin, interpretasi yang ada bisa tak sama. Walau Inception punya ending, namun bagi saya Nolan mengarsitekinya seperti labirin yang tak berujung. [B+] 21/03/11

Selasa, 08 Maret 2011

Resensi Musik: Radiohead - The King of Limbs (2011)


Di awal dekade kedua tahun 2000 ini Radiohead—band Inggris eksperimentalis—kembali mengeksplorasi khazanah musikalitas dalam King of Limbs. Mereka masih setia dengan produser musik-musik eksentrik, Nigel Godrich. Mengapa Radiohead saya sebut eksperimentalis? Jelas karena aktivitas mereka yang praktis ubah haluan secara signifikan sejak album Kid A. Album studio Radiohead ke-8 yang juga mengemas 8 lagu ini mengalir tanpa ikatan konseptual. Durasi 37 menit yang terbentang tak bisa secara tegas diklasifikasikan ke dalam genre-genre tertentu, khas Radiohead. Limbs masih dengan hobi simfoni Radiohead yang meraung-raung dalam balutan ritmik elektro. Pun tetap kurang artikulatif dalam senandungnya.

Bloom di awal album mengembang dengan denyut-denyut alarm penanda perjalanan Limbs bermula, Thom Yorke lantunkan seruan lembut menggema “Open your mouth, wide…” di dalam iringan detak perkusi tempo kereta api bergerak. Lewat lagu pembuka ini pasti kita bisa menerka mau dibawa ke mana Limbs. Ucapkan selamat tinggal sejenak kepada Pablo Honey sampai OK Computer sebelum melanjutkan ke Morning Mr. Magpie. Lagu kedua ini ingin cepat-cepat saya lewati. Lega akhirnya bisa sampai ke pemberhentian ketiga, Little by Little, yang menyuguhi kita alunan gamelan. Tunggu masuk ke alam Feral di urutan ke-4…

Woah! Ini baru sodokan awal Limbs. Di sini Yorke seperti (maunya) coba main-main falsetto, tapi tidak jadi. Lantas dijadikan irama beatbox impulsif. Saya selalu salut terhadap ilham nada-nada kontemplatif kreasi Yorke. Beberapa bagian yang dulu pernah ia pekikkan dalam Kid A sempat membuat saya merinding. Single pertama Limbs yang berjudul Lotus Flower ada di urutan ke-5. Yang satu ini lebih terkenal video klipnya. Dalam video Yorke berjoget bebas ikuti denyut emosi. Seperti kita joget-joget ngedan-lepas kala di toilet atau di kamar tidur. Entah mengekspresikan suasana hati atau sekadar ikuti ritme musik. Tadinya saya berharap terkandung lirik filosofis atas bunga lotus dalam lagu ini tapi ternyata tidak. Kecele.

Permata album Limbs ada pada Codex. Denting piano “mengheningkan cipta” iringi Yorke dalam melagukan lirik pengobat sakit hati. Irama terompet sayup di dalamnya menambah khidmat suasana. Kangen mendengar Radiohead tampil sederhana seperti ini lagi. Beralih ke lagu berikutnya, Give Up the Ghost, juga masih sederhana. Sebuah lagu yang bagi saya motif lain penyata dari “It’s all in your arms”.

Hingga pada akhirnya kita sampai pada pengujung, Separator, yang santai dan menggugah. Di sini kalimat retorik Radiohead muncul, “If you think this is over, then you’re wrong.” Semoga saja tidak sebatas syair lagu. Saya harap Radiohead masih menjelajah. Apalagi yang bisa ditunggu-tunggu dan diharapkan penggemar terhadap seniman gacoannya. [B] 05/03/11

Resensi Film: Black Swan (2010)


Kembali, Natalie Portman tak mengumbar secara vulgar bagian vital tubuhnya! Salut untuk Portman, yang jelas-jelas sempat nyaris telanjang eksplisit dalam film pendek Hotel Chevaliar. Di Black Swan, Portman memerankan sosok Nina seorang balerina perfeksionis yang terlibat perang dingin cat-fight belakang panggung dalam mendapatkan posisi idola sebagai ratu-angsa baru di sebuah kelompok balet kondang di New York.

Swan bukan film drama pupur perona wajah, melainkan thriller psikologi magnetik yang tak biarkan rasa bosan menghinggapi pemirsanya. Nina hidup bak remaja obsesif lugu. Ia selalu menuruti apa kata ibunda, orang tua tunggal Nina si mantan balerina tak sukses yang belum ikhlas. Saking obsesifnya Nina mendapatkan peran si angsa maka teror tekanan psikis dalam diri bergejolak. Mulai dari mimpi aneh, halusinasi luka-luka di tubuhnya, sampai alter ego kelewatan.

Meski akhirnya ia sukses meraih peran si angsa, ternyata masih banyak hal mengganggu hidupnya. Pertama, Nina mendapat kecaman dan ancaman dari mantan primadona kelompok balet. Kedua, Nina punya PR menyelami karakter angsa hitam. Dalam cerita yang akan dimainkan, ia dituntut bisa memerankan baik sebagai angsa putih maupun angsa hitam sekaligus. Angsa putih memang sudah sesuai dengan pribadinya yang lurus-lurus saja, namun angsa hitam yang binal dan jahat? Ia tak pernah melewati batas. Mengumpat pun terdengar lucu. Ketiga, Nina mendapat saingan laten baru. Yang terakhir dan terparah, kecemasan Nina yang berbuah halusinasi makin menjadi-jadi.

Saya belum terlalu familiar dengan strada Darren Aronofsky. Terakhir sempat menikmati karyanya The Wrestler yang cukup menghempas hati. Lewat dua karya yang telah saya tonton, tak ragu saya nyatakan upaya Aronofsky selalu ajaib dalam membuat letupan emosi di cerita klise. Cerita dasar Swan sebenarnya biasa-biasa saja. Namun dengan elemen horor yang menghibur ditambah pengayaan pesan moral lewat adegan sinematik menjadi Swan nampak spesial. Gelap nan seru dalam selang-seling suasana hati hitam dan putih.

Setuju dengan tim juri oscar yang menobatkan Portman sebagai aktris pemeran utama berprestasi. Sepanjang film peran Nina mengalir wajar, konstan, dan memang mewujud Nina. Yang mulai berani lewati batas dengan menentang ibunda demi sebuah kebebasan atas nama totalitas. Yang menuruti apa kata ketua artistik kelompok balet supaya “menyentuh” diri (baca: masturbasi). Yang rela melakukan apapun demi kesempurnaan.

Agaknya film balet tak akan lengkap tanpa menu musik orkestra dinamis. Jangan kuatir, Clint Mansell tak teledor. Musik familiar Swan Lake di sana-sini bermunculan dalam alunan variatif. Mengiringi film penuh presisi.

Apa arti kesempurnaan? Swan coba menjawabnya di pengujung film. [B+] 07/03/11

Resensi Film: The Next Three Days (2010)


Sejak Crash dan In the Valley of Elah saya bergumam bakal tak melewatkan satu pun film Paul Haggis. Seorang penulis dan sutradara berbakat. Banyak skenario gubahannya yang humanis. Sebutlah Casino Royale, pelopor seri 007 masuk kelas kompetisi penghargaan film. Hingga sebelum menonton film ini tetap Crash yang menyejarah dalam benak saya.

Kisah Days mengada-ada. Seorang suami rela berjuang mati-matian membebaskan isteri dari hukuman penjara atas dakwaan pembunuhan disengaja. Sungguh premis yang lemah. Terlebih di sini tanpa pengadegan sidang membuat Days sebagai pemaksa kehendak. Pokoknya penonton harus percaya seperti itu ceritanya. Paro awal film saya spontan lunglai, lemas karena salah satu strada saya membiarkan filmnya hancur.

Tapi bukan Haggis kalau tak memasukkan unsur-unsur rasa percaya, yakin, dan hal-hal imani lainnya. Suami yang diperankan oleh Russel Crowe sangat yakin bahwa si isteri tidak bersalah sekalipun dalam suatu kesempatan si isteri berucap mengakuinya. Perkara bersalah atau tidaknya si isteri tak jadi sorot utama. Militansi yang didorong keyakinan adalah inti plot Days.

Akting pas-pasan dan durasi karet membuat Days lumpuh. Belum lagi pola plot yang mirip Crash, terlalu Haggis-ish dan membuat kesan kontraproduktif. Aktual, kilas balik, kembali bertemu aktual, dan baru maju. Meski terkesan amburadul, Haggis masih menyisakan ruang mutu dalam karya ketiganya ini.

Sudut-sudut liar dalam kota difilmkan senyata mungkin lewat belakang dasbor mobil. Penggambaran atas polisi juga manusia lewat investigasi tak berkesudahan cukup melegakan. Thriller timing pengejarannya lumayan seru. Serta akhir yang menyenangkan, lewat eksekusi semua impas. Mmm… Belum saatnya saya membuang kartu anggota penggemar Haggis. [C+] 07/03/11