Selasa, 08 Maret 2011

Resensi Film: Black Swan (2010)


Kembali, Natalie Portman tak mengumbar secara vulgar bagian vital tubuhnya! Salut untuk Portman, yang jelas-jelas sempat nyaris telanjang eksplisit dalam film pendek Hotel Chevaliar. Di Black Swan, Portman memerankan sosok Nina seorang balerina perfeksionis yang terlibat perang dingin cat-fight belakang panggung dalam mendapatkan posisi idola sebagai ratu-angsa baru di sebuah kelompok balet kondang di New York.

Swan bukan film drama pupur perona wajah, melainkan thriller psikologi magnetik yang tak biarkan rasa bosan menghinggapi pemirsanya. Nina hidup bak remaja obsesif lugu. Ia selalu menuruti apa kata ibunda, orang tua tunggal Nina si mantan balerina tak sukses yang belum ikhlas. Saking obsesifnya Nina mendapatkan peran si angsa maka teror tekanan psikis dalam diri bergejolak. Mulai dari mimpi aneh, halusinasi luka-luka di tubuhnya, sampai alter ego kelewatan.

Meski akhirnya ia sukses meraih peran si angsa, ternyata masih banyak hal mengganggu hidupnya. Pertama, Nina mendapat kecaman dan ancaman dari mantan primadona kelompok balet. Kedua, Nina punya PR menyelami karakter angsa hitam. Dalam cerita yang akan dimainkan, ia dituntut bisa memerankan baik sebagai angsa putih maupun angsa hitam sekaligus. Angsa putih memang sudah sesuai dengan pribadinya yang lurus-lurus saja, namun angsa hitam yang binal dan jahat? Ia tak pernah melewati batas. Mengumpat pun terdengar lucu. Ketiga, Nina mendapat saingan laten baru. Yang terakhir dan terparah, kecemasan Nina yang berbuah halusinasi makin menjadi-jadi.

Saya belum terlalu familiar dengan strada Darren Aronofsky. Terakhir sempat menikmati karyanya The Wrestler yang cukup menghempas hati. Lewat dua karya yang telah saya tonton, tak ragu saya nyatakan upaya Aronofsky selalu ajaib dalam membuat letupan emosi di cerita klise. Cerita dasar Swan sebenarnya biasa-biasa saja. Namun dengan elemen horor yang menghibur ditambah pengayaan pesan moral lewat adegan sinematik menjadi Swan nampak spesial. Gelap nan seru dalam selang-seling suasana hati hitam dan putih.

Setuju dengan tim juri oscar yang menobatkan Portman sebagai aktris pemeran utama berprestasi. Sepanjang film peran Nina mengalir wajar, konstan, dan memang mewujud Nina. Yang mulai berani lewati batas dengan menentang ibunda demi sebuah kebebasan atas nama totalitas. Yang menuruti apa kata ketua artistik kelompok balet supaya “menyentuh” diri (baca: masturbasi). Yang rela melakukan apapun demi kesempurnaan.

Agaknya film balet tak akan lengkap tanpa menu musik orkestra dinamis. Jangan kuatir, Clint Mansell tak teledor. Musik familiar Swan Lake di sana-sini bermunculan dalam alunan variatif. Mengiringi film penuh presisi.

Apa arti kesempurnaan? Swan coba menjawabnya di pengujung film. [B+] 07/03/11

1 komentar:

  1. Nice article buat ane yang masih belajar nulis hehehe http://leonardfresly.blogspot.com/

    BalasHapus