Kamis, 24 Maret 2011

Resensi Film: Cin(T)a (2009)


Ini bukan lagu populer alay yang dieja c-i-n-t-a. Ini sebuah film dewasa yang maunya nampak cerdas, prinsipil, dan penuh filosofis tentang cinta beda agama. Cina yakni sebuah nama milik mahasiswa Nasrani peranakan Cina yang tertarik dengan Annisa, seorang mahasiswi muslim etnis Jawa ex-seleb berlatar belakang keluarga broken-home. Kisahnya seputaran bahasan plus-minus agama masing-masing. Mereka pun bertanya-tanya kenapa Tuhan menciptakan perbedaan kalau hanya mau disembah lewat satu cara. Berbekal slogan God is a director, film ini membuat kesan kontraproduktif terhadap rekanan frasa lainnya macam God is a DJ dkk.

Diselingi cuplikan-cuplikan komentar dari pasangan nyata beda agama di tengah putaran film membuat cin(T)a seolah-olah pede melegitimasi kelumrahan pasangan beda agama. Bagi saya, cuplikan macam inilah yang menjadi poin utama film. Yang buat membosankan adalah terlalu egoisnya diskusi antara dua orang yang (harusnya) saling dimabuk cinta ini. Parahnya lagi, ikatan kimiawi di antara mereka tak tercitra kuat.

Kurang sedapnya harmoni asmara dan nihil hal baru ihwal cinta beda agama yang ditawarkan dalam film, mendorong saya berbulat tekad mengucap maaf. Saya harus jujur kalau kecewa dengan waktu dan konsentrasi yang telah saya curahkan selama sekitar 1,5 jam. Padahal opening scene, desain produksi, dan sinematografinya menjanjikan. Lagu-lagu dari Homogenic dipasang terlalu tamak. Ini film atau album video klipkah? Saya pikir “T” pada cin(T)a berarti Tuhan. Ternyata “tawar”. [C] 23/03/11

1 komentar:

  1. well, emang "pede" adalah sebuah awal yg bagus dalam membawa sebuah film. beda dg Nayato yg--bukan pede lagi tapi--tidak tahu diri. Tapi menurutku film ini malah lebih "dekat" karena hubunganku dg "you know who" jg dipenuhi diskusi macam itu.hehehe 3 hati.. bagus sih, cuman pembawaannya sudah sangat sering kita jumpai di perfilman Indo..

    BalasHapus