Selasa, 22 Maret 2011

Resensi Film: The Fighter (2010)


Satu lagi judul dari nomine film terbaik Oscar 2011. Mau uppercut hebat? Tonton film ini. Berdasar kisah nyata tentang seorang petinju Amerika bernama Mickey Ward (yang aslinya dieja tanpa “e” alias Micky) bersama pelatih yang bukan lain merupakan kakaknya sendiri Dicky Eklund, seorang mantan petinju yang pernah meng-K.O. Leonard Sugar Ray. Berdua menyongsong puncak karier sang adik. Kakak beradik ini tinggal di Lowell, sebuah kawasan yang konon dulunya terkenal dengan pusat revolusi industri. Letaknya di pinggir kota dan sekitar tahun 1993 kondisinya sedikit menyedihkan karena minus kebanggaan.

Micky hidup dalam keluarga besar. Punya kakak superbanyak yang rata-rata berstatus tak jelas dengan ayah pengalah karena tak punya posisi tawar, serta ibu yang keras dan bertindak layaknya inkubator merangkap manajer tinju bagi putera-puteranya. Perjalanan karier tinju Micky berat. Tak pelak karena kakaknya selalu telat melatih lantaran asyik “ngisap” bersama teman-temannya. Kasih sayang si Ibu terasa kelewat lebih kepada sang kakak. Serta kakak-kakak perempuan Micky lainnya nampak tak perlihatkan dukungan tulus kepadanya. Hanya ayah dan pacar yang mendukung karier mandiri Micky. Akhirnya Micky pun tentukan jalur karier mandiri. Pilihan ini langsung menghadapkannya pada posisi sulit. Sebuah syarat yang tak membolehkan lagi sang kakak dan ibu campur tangan dalam tim tinjunya, yang selama ini selalu berada di sampingnya. Jadilah dilema diri.

Ajaibnya sewaktu menonton film ini saya lupa dan tak cepat-cepat membandingkannya dengan The Wrestler yang sama-sama drama berlatar tokoh utama petinju dalam perban problema-keluarga akut. Dari sini jelas The Fighter punya gagasan cerita yang kuat. Sebuah ekspos ironi dalam ego diri yang mempertanyakan di manakah kasih sayang berada. Apakah dari keluarga atau dari pihak luar? Tak bisakah keduanya yang bermusuhan bisa dipersatukan bila mereka memang benar-benar cintai kita?

Christian Bale yang memerankan Dicky sukses besar membuat karakter yang ada jadi miris dilihat. Dari seorang pahlawan jadi pecundang kemudian bermetamorfosis jadi “malaikat”. Adegan yang paling menyentuh hati saya adalah ketika si Ibu—yang diperankan cukup eksplosif oleh Melissa Leo—dan Dicky bareng-bareng menyanyikan lagu I Started a Joke di dalam mobil ketika keduanya dalam keadaan meng/di-kecewa-kan satu sama lain. Ada juga adegan singkat pengharu biru yakni ketika di akhir film Dicky memberi testimoni kepada Micky. Gila, membekas rasa!

Lewat warna separasi sinematografi “live moment” yang tajam dan supervisi lagu-lagu latar khas sasana tinju, The Fighter menjadi simbol casing tak bisa mewakili isi. Bukan karena akhir bahagia yang membuat kita menyenangi sebuah film, tapi proses untuk menjadi bahagialah yang selalu memikat hati untuk mengapresiasi kehidupan. The Fighter membuktikan itu. [A-] 21/03/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar