Rabu, 26 September 2012

Resensi Film: Sherlock Holmes (2009)

Baru dengar nama dia lewat bacaan komik Jepang kreasi Detektif Conan pada masa akhir 1990-an. Selang satu dekade lebih kemudian, saya dapati karakternya lewat sebuah film adaptasi arahan strada Guy Ritchie. Awalnya saya penuh ragu menonton film ini karena reputasi si strada yang labil, kadang dipuja dan tak jarang dibantai oleh para pengulas film. Tak pernah ada yang dominan terpuaskan oleh karya Guy Ritchie. Tapi anehnya, dia bisa terkenal!

Saya akui, inilah pertama kalinya saya nonton film produksi Guy Ritchie, mumpung saya juga sedang ingin mengenal lebih mendalam karakter fiksi detektif Inggris bernama Sherlock Holmes kreasi Sir Arthur Conan Doyle. Bukaan filmnya cukup kosmetikal, logo-logo distributor film ditampilkan berpola bebatuan alam jalanan London era pertengahan akhir (saya pikir). Lumayan menarik, gumam saya. Lalu penonton diajak mengintip kejadian penting bertempo agak cepat. Di situlah kita disuguhi sajian pembuka yang mana memberitahukan kepada kita kalau kasus yang harus dipecahkan Sherlock kali ini adalah menghadapi seorang cenayang misterius—suatu hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsip logis Sherlock.

Sebuah pilihan tepat, menurut saya. Mengingat adaptasi plot kisah masih memilih untuk berlatar London era pertengahan akhir, bukan menggesernya ke era yang lebih modern. Sebenarnya sah-sah saja jika mau mengadaptasi ke masa yang berbeda. Prinsip logika dipertemukan dengan prinsip supranatural. Sherlock melawan cenayang penuh tipu muslihat. Terbayang kan bagaimana gatalnya rasa penasaran Sherlock ketika harus menghadapai kasus yang oleh kebanyakan orang dipercaya terjadi karena dorongan magis. Sherlock punya PR besar untuk melogikakan kejadian itu.

Sherlock tak sendirian, ia punya partner yang merupakan seorang dokter bernama Watson. Mereka pasangan benci-rindu. Walaupun nempel terus tapi yah bukan pasangan maho-lah… Berdua diperankan secara yahut dan berhasil membuahkan interpretasi kuat oleh Robert Downey Jr. dan Jude Law. Sherlock menjadi sosok detektif tajam tapi berperilaku sama sekali tak berwibawa, kadang gontai, tapi maskulin, moody, namun tahu kapan saat bertindak. Sedangkan Watson, meski maunya tobat berhubungan dengan Sherlock, namun ia tak bisa lepas darinya. Sebuah ikatan kimiawi nan kompleks. Mmm, katakanlah mereka mengandung unsur simbiosis mutualisme.

Menyimak kisah teka-teki, tentu tak hanya berbatas pada penyajian, perumusan, dan penyelesaian perkara. Penikmatnya senantiasa dipancing menerka-nerka sesuai kemampuan ala detektif masing-masing… Namun, entah mengapa dalam film ini saya tak berhasil terpancing. Saya memandang demikian karena penonton terlampau diberi banyak petunjuk dengan ritme plot yang cukup tergesa untuk ukuran film detektif. Saya merasanya sekasus dengan The Girl with the Dragon Tattoo arahan David Fincher. Saya terlanjur lebih terpikat pada sensasi sinematis dan pemeranan di beberapa bagian. Kadung terbawa dan lupa untuk ikut-ikutan menebak trik perkara.

Di atas itu semua, saya lihat tafsiran Guy Ritchie cukup menarik. Di luar prasangka saya sebelumnya. Dibuat olehnya sebuah film detektif yang jenaka, bergaya, sekaligus gelap secara bersamaan. [B] 25/09/12 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar