Terima kasih untuk teman saya yang telah meminjamkan buku
ini. Separo bagian saya lahap kata per kata, namun separo bagian akhir saya baca-cepat
tanda tak cukup nafsu dan
sabar. Pram selalu
menjadi magnet bagi penikmat karya sastra. Bagi saya, bukan karena kerumitan
sastrawinya namun lebih karena penetrasi ideologis di tiap-tiap karyanya. Mereka
sangat mencerminkan itu. Bagi yang sama-sama berideologi namun berseberangan,
mungkin saja karya Pram terasa menggemaskan untuk dibalas.
Kali ini, lewat
salah satu catatan Pulau Buru-nya, Pram mendongengan pada kita kisah pilu. Preseden
mengenaskan dari sebuah episode sejarah Indonesia. Judulnya sudah mencerminkan
itu, Perawan Remaja dalam Cengekeraman
Militer. Lewat karya ini, kita tersadarkan oleh bau bangkai terpendam yang
berasal dari era pendudukan militer Jepang. Ketika para puteri—yang cantik,
masih perawan, memendam impian emas di masa depan— dari orang tua pribumi berkedudukan
tak tahu-menahu bakal kemana sebenarnya para penjemput Jepang akan membawa
mereka. Yang kebanyakan mereka tahu, mereka mendapat restu orang tua tersayang
untuk dibawa pasukan Jepang demi menempuh pendidikan yang lebih baik di tanah
seberang.
Cukuplah,
angan-angan manis terhenti tatkala mereka ditampung di “tangsi mucikari”.
Hancur sudah harapan mereka setelah kemurnian dirobek-robek, dicacati. Tak tahu
mereka kemana harus mengalamatkan segala amarah. Mereka sekarang lepas, bak di
tengah samudera, tak punya hubungan, dalam hati hanya bisa bertanya-tanya:
apakah ada yang peduli kepadaku? Keluargaku? Kalian, pengguna paksaku? Sudah
cukup. Aku sebenarnya belum siap menanggung malu dan menata hidup kembali.
Itulah, mungkin, sedikit cerminan tentang apa yang mereka rasakan.
Dalam buku ini,
Pram sebagai sejarawan juga—menurut saya—menuntun kita pada kisah-kisah pengalaman
pencarian para remaja puteri hilang tersebut. Mereka banyak tersembunyi,
tersebar. Buku ini menceritakan beberapa nama yang ada di sekitar Pulau Buru.
Untuk menutup sekadar goresan ini, saya kutipkan satu paragraf akhir dalam
buku:
“Dan pada almarhumah kami semua meminta maaf sebesar-besar
maaf karena tak mampu mengurus jenazahnya secara lebih baik dan lebih layak. Kami
bukanlah orang bebas yang dapat mengusahakan sepatutnya. Aku sendiri hanya
dapat berdoa semoga pengorbanannya selama 35 tahun mempunyai makna abadi bagi
para perawan remaja Indonesia sekarang dan di kemudian hari.” [13/09/12]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar