Kamis, 13 September 2012

Goresan: "Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer" karya Pramoedya Ananta Toer

Terima kasih untuk teman saya yang telah meminjamkan buku ini. Separo bagian saya lahap kata per kata, namun separo bagian akhir saya baca-cepat tanda tak cukup nafsu dan sabar. Pram selalu menjadi magnet bagi penikmat karya sastra. Bagi saya, bukan karena kerumitan sastrawinya namun lebih karena penetrasi ideologis di tiap-tiap karyanya. Mereka sangat mencerminkan itu. Bagi yang sama-sama berideologi namun berseberangan, mungkin saja karya Pram terasa menggemaskan untuk dibalas.

Kali ini, lewat salah satu catatan Pulau Buru-nya, Pram mendongengan pada kita kisah pilu. Preseden mengenaskan dari sebuah episode sejarah Indonesia. Judulnya sudah mencerminkan itu, Perawan Remaja dalam Cengekeraman Militer. Lewat karya ini, kita tersadarkan oleh bau bangkai terpendam yang berasal dari era pendudukan militer Jepang. Ketika para puteri—yang cantik, masih perawan, memendam impian emas di masa depan— dari orang tua pribumi berkedudukan tak tahu-menahu bakal kemana sebenarnya para penjemput Jepang akan membawa mereka. Yang kebanyakan mereka tahu, mereka mendapat restu orang tua tersayang untuk dibawa pasukan Jepang demi menempuh pendidikan yang lebih baik di tanah seberang.

Cukuplah, angan-angan manis terhenti tatkala mereka ditampung di “tangsi mucikari”. Hancur sudah harapan mereka setelah kemurnian dirobek-robek, dicacati. Tak tahu mereka kemana harus mengalamatkan segala amarah. Mereka sekarang lepas, bak di tengah samudera, tak punya hubungan, dalam hati hanya bisa bertanya-tanya: apakah ada yang peduli kepadaku? Keluargaku? Kalian, pengguna paksaku? Sudah cukup. Aku sebenarnya belum siap menanggung malu dan menata hidup kembali. Itulah, mungkin, sedikit cerminan tentang apa yang mereka rasakan.

Dalam buku ini, Pram sebagai sejarawan juga—menurut saya—menuntun kita pada kisah-kisah pengalaman pencarian para remaja puteri hilang tersebut. Mereka banyak tersembunyi, tersebar. Buku ini menceritakan beberapa nama yang ada di sekitar Pulau Buru. Untuk menutup sekadar goresan ini, saya kutipkan satu paragraf akhir dalam buku:

“Dan pada almarhumah kami semua meminta maaf sebesar-besar maaf karena tak mampu mengurus jenazahnya secara lebih baik dan lebih layak. Kami bukanlah orang bebas yang dapat mengusahakan sepatutnya. Aku sendiri hanya dapat berdoa semoga pengorbanannya selama 35 tahun mempunyai makna abadi bagi para perawan remaja Indonesia sekarang dan di kemudian hari.”  [13/09/12]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar