Kamis, 22 Desember 2011

Resensi Film: Melancholia (2011)

Setiap kali menyimak film berbau nyeni, saya selalu harus siap-siap dulu. Semacam demam panggung. Antimo, obat penenang, dkk. pokoknya saya musti tersugestikan lebih dulu supaya tahan menonton hingga pungkasan. Judul yang satu ini sebenarnya cukup populer mengingat masuk film seleksi Festival Film Cannes dan di samping itu saya sering menikmati karya sang staradnya, Lars von Trier. Tonjokan pertama film Trier saya dapatkan ketika mendapati Dancer in the Dark yang dibintangi Bjork. Kemudian sempat tak utuh menonton Dogville, karena DVD bajakannya rusak di tengah jalan. Kemudian mencari-cari Antichrist, yang benar-benar susah diusahakan secara gratisan.

Melancholia, yang berposterkan Kirsten Dunst dalam balutan gaun pengantin sedang mengapung di atas sungai jernih, menyisakan teka-teki tentang apa gerangan film ini. Manapula judulnya Melancholia, yang sepintas akan dikira suatu kisah melodrama khas melankolis di dalamnya. Ternyata bukan demikian! Saya sempat sepintas pernah membaca sinopsisnya, namun belum jelas karena keterbatasan kemampuan saya dalam menerjemahan bahasa Inggris teknis dan kontekstual. Ah… langsung tonton saja.

Di balik poster misterius dan nama besar sang strada serta pemeran-pemerannya, Melancholia bercerita ihwal fase menjelang ajal. Diceritakan, terdapat sebuah planet bernama Melancholia yang dengar-dengar akan menabrak Bumi. Untuk mengetahui plot utama ini saja penonton harus tahan sampai bagian 2-nya yang mana meghabiskan satu jam pertama durasi. Perlu diketahui, plot film ini dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama, tentang acara malam pernikahan dalam sebuah keluarga berintrik. Bagian kedua, memperjelas tentang plot utama: saat-saat jelang menabraknya Melancholia. Tak usah menyangkal akan terjadi sebuah ending yang tak mengenakkan. Trier sudah memberi sinyal sejak awal film, yakni dalam kolase sinematografi pembukanya.

Akting para pemainnya jelas gemilang, dan ini tak luput dari sentuhan magis teknik handheld khas Trier. Biarlah juri Cannes menghadiahi Dunst penghargaan aktris terbaik, tapi memang ia menampilkan apa yang harus karakternya munculkan. Sampai rela-rela ia berpose telanjang, walau sebenarnya bisa digambarkan lebih tak frontal.

Melancholia, menghantam tepat di akhir setelah kita menunggu lama hampir kebosanan laiknya sedang mengamati lambannya itungan mundur lampu merah di simpang jalan. [B+] 21/12/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar