Selasa, 20 Desember 2011

Resensi Film: The Help (2011)


Jika menyimak sejarah USA pasti tak terpisahkan dengan kisah-kisah diskriminasi ras. Kali ini ada lagi film (saya bilang) bagus bertemakan itu, setelah beberapa pendahulunya sebut saja Crash dan Gran Torino. Saya termasuk yang memprediksi judul ini bisa masuk kategori film terbaik Oscar 2012, lebih lagi kansnya akan kian besar masuk jajaran nomine bila panitia Oscar masih memajang 10 judul seperti tahun-tahun belakangan ini.

Lupakan sejenak jackpot Oscar, mari kita beralih ke The Help. Bagaimana mekanisme kehidupan pembantu negro dalam rumah tangga kulit putih menjadi topik utama film ini. Seorang pembantu “dikebiri” impiannya dalam menjadi seorang yang bukan berprofesi babu, hasil tradisi turun-temurun. Sebagai pembantu, WC mereka dipisah dengan yang dipakai pemilik rumah. Dalihnya, supaya pembantu negro tersebut bisa menularkan penyakit! Lebih ironisnya tatkala mereka terpaksa merawat bayi berkulit putih majikannya, sedangkan anak mereka sendiri dirawat orang lain. Semua dikerjakan demi mendapatkan gaji cukup untuk bertahan hidup.

Masih banyak lagi kejadian menarik lainnya nan dramatis terkait kesengsaraan nasib kulit hitam di USA sekitar pertengahan abad ke-20. Tokoh utama dalam film ini adalah seorang pemudi, editor cemerlang yang sedang dalam masa keemasan mendulang prestasi. Ia sukses dalam karier, namun tidak dalam cinta. Mari kita kesampingkan subplot klise ini. Ia tertarik dengan ide mengubah sudut pandang kisah dan berita. Bagaimana jika sekarang pembaca disuguhi kisah/berita dari sudut pandang para pembantu negro, di tengah konsumsi pemberitaan dan narasi yang sangat white-skinned sentris.

Banyak cobaan dan tantangan yang menerpa si pemudi ini. Itulah salah satu poin utama yang disampaikan The Help. Mengingatkan kembali pada Erin Brockovich, ketika seorang pemberani (aktivis) harus siap dengan segala konsekuensi negatif yang akan dihadapi. Beberapa kelemahan film ini yakni ketika kita, sebagai penonton, sudah tahu dan menerka bahwa bakalan banyak adegan-adegan haru. Selain itu, kurang personalnya penggambaran masing-masing karakter membuat durasinya yang sudah melebihi rata-rata, yakni 2,5 jam, terasa kurang menyentuh. Berbeda sekali ketika kita menikmati Forrest Gump yang terbersit adegan monumental “Run, Forrest. Run!!!”, yang dalam film ini pun ada naskah tersebut, The Help membiarkan kita tak puas mencapai klimaks.

Walau demikian, filmnya rapi, kalem, dan aman. Sekarang kapan lagi kita bisa menikmati fitrah film Hollywood di tengah kebingungannya yang lagi demam restorasi 3D film-film lawas. [B+] 19/12/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar