Isu nasionalisme di tengah
masyarakat Indonesia bakal tak ada habisnya. Setidaknya hingga saat ini.
Mempertanyakan ulang makna paham kebangsaan itu, dengan segala hal terkaitnya.
Kali ini ada satu judul film gres
yang siap meramaikan blantika perfilman nasional, Tanah Surga… Katanya. Awalnya saya pikir film ini karya Deddy
Mizwar, ternyata bukan, mengingat domain film kritik sosial ihwal nasionalisme
selama ini didominasi beliau.
Lewat kehidupan di salah satu
sudut Kalimantan Barat perbatasan negara Indonesia-Malaysia, Tanah coba mengangkat tema nasionalisme
secara miniaturistik. Melalui sebuah keluarga sederhana, penonton
dipertunjukkan interaksi langsung warga di perbatasan dua negara. Ada kakek
sakit-sakitan pemendam dan pengobar semangat kebangsaan, putera yang tergiur
berpaling ke negeri jiran, dan dua cucu yang terombang-ambing di antara
perbedaan visi kakek-ayah. Materi sederhana ini, bagi saya, sudah cukup untuk
menjadi premis sebuah karya film.
Amat disayangkan, kesederhaan
yang saya sebut di atas agak dikoyak-koyak oleh tebaran beberapa subplot pengganggu.
Sebut saja salah satunya, kisah cinta monyet (baca: tempelan). Film ini memang
kalah jauh menggelegar ketimbang Alangkah
Lucunya (Negeri ini), tapi rasa nasionalisme tetap tersampaikan. Simak saja
adegan ketika Lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan. Meski tak menggetarkan,
namun tetap menyadarkan kita. Dalam artian, kita akan merasa bagaimana selama
ini kita lebih sering menyia-nyiakan momen khidmat itu.
Kalau dikatakan “bagus solid”,
Tanah belumlah… tapi untuk ungkapan “cukup
bagus”, lebih paslah. Seandainya saja sinematografi film ini dikemas secara
lebih realis dengan teknik handheld
ala Eliana, eliana. Saya bisa
bayangkan, sensasionalitas Tanah akan
naik kelas. [B-] 09/11/12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar