Jumat, 09 November 2012

Resensi Film: Tanah Surga... Katanya (2012)

Isu nasionalisme di tengah masyarakat Indonesia bakal tak ada habisnya. Setidaknya hingga saat ini. Mempertanyakan ulang makna paham kebangsaan itu, dengan segala hal terkaitnya. Kali ini ada satu judul film gres yang siap meramaikan blantika perfilman nasional, Tanah Surga… Katanya. Awalnya saya pikir film ini karya Deddy Mizwar, ternyata bukan, mengingat domain film kritik sosial ihwal nasionalisme selama ini didominasi beliau.

Lewat kehidupan di salah satu sudut Kalimantan Barat perbatasan negara Indonesia-Malaysia, Tanah coba mengangkat tema nasionalisme secara miniaturistik. Melalui sebuah keluarga sederhana, penonton dipertunjukkan interaksi langsung warga di perbatasan dua negara. Ada kakek sakit-sakitan pemendam dan pengobar semangat kebangsaan, putera yang tergiur berpaling ke negeri jiran, dan dua cucu yang terombang-ambing di antara perbedaan visi kakek-ayah. Materi sederhana ini, bagi saya, sudah cukup untuk menjadi premis sebuah karya film.

Amat disayangkan, kesederhaan yang saya sebut di atas agak dikoyak-koyak oleh tebaran beberapa subplot pengganggu. Sebut saja salah satunya, kisah cinta monyet (baca: tempelan). Film ini memang kalah jauh menggelegar ketimbang Alangkah Lucunya (Negeri ini), tapi rasa nasionalisme tetap tersampaikan. Simak saja adegan ketika Lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan. Meski tak menggetarkan, namun tetap menyadarkan kita. Dalam artian, kita akan merasa bagaimana selama ini kita lebih sering menyia-nyiakan momen khidmat itu.

Kalau dikatakan “bagus solid”, Tanah belumlah… tapi untuk ungkapan “cukup bagus”, lebih paslah. Seandainya saja sinematografi film ini dikemas secara lebih realis dengan teknik handheld ala Eliana, eliana. Saya bisa bayangkan, sensasionalitas Tanah akan naik kelas. [B-] 09/11/12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar