Senin, 05 November 2012

Resensi Film: The Amazing Spider-Man (2012)

Selamat tinggal Tobey dan Kirsten… Kalian telah mengatamkan trilogi Spider-Man besutan Sam Raimi. Yang dulu saya pernah sempat apriori, namun setelah menonton langsung ternyata hasilnya cukup menakjubkan. Sekarang, ada lagi versi lain yang tiba memasang kata amazing. Seberapa amazing­-kah koleksi kali ini? Semua tak ada yang sama. Posisi strada dipegang Marc Webb yang termahsyur dengan karyanya (500) Days of Summer. Pasangan Peter dan Mary diperankan Andrew Garfield dan Emma Stone. Mmm… dengan begini pasti urusan banding-membandingkan akan lebih asyik dikaji.

Sejak pembuka film bergulir, saya langsung merasakan sinematografi Amazing yang kental bernuansa film-film ala remaja. Apa?! Dalam hati, saya nggerundel kenapa Webb memilih eksekusi demikian. Sayang sekali… Ya sudahlah, saya lanjutkan. Plot Amazing tak berbeda dengan awal-mula Spider-Man. Seketika saya berpikir, ini hanya beda casing saja. Mungkin penggemar komik Spider-Man akan lebih paham untuk hal ini. Lambat laun, saya mulai menyadari kalau Webb memang sengaja membuat sesuatu yang lain supaya tak terjebak menyalin-tempel atau membuat parafrase atas formula Sam Raimi. Apakah itu? Penawaran utamanya adalah Webb menggelindingkan alur secara lebih alamiah nan realistis serta menurunkan kandungan bombastis.

Di atas itu semua, secara umum saya tak bisa dan tak mau membanding-bandingkan antara karya Raimi dan Webb. Amazing bukanlah sebuah adaptasi komikal. Ia interpretasi lain dan berbeda dari milik Raimi. Saya menangkap, Webb sedikit keteteran imbangi hegemoni trilogi karya Raimi yang sudah mapan dan laris-manis. Kalau ini ibarat sebuah tim sepak bola dalam sebuah kompetisi liga, maka bayangkan saja jika pada peralihan musim kompetisi Manchester United (MU) tak lagi dilatih Sir Fergie dan para pemainnya pun berubah total. [B-] 05/11/12   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar