Rabu, 03 Agustus 2011

Resensi Film: Hereafter (2010)

Tua-tua keladi. Mungkin itu peribahasa yang pas saya sematkan bagi Clint Eastwood. Betapa produktif dan intimnya film-film drama besutan aki-aki ini. Alam bawah sadar saya selalu merindukan karya-karya Eastwood. Kali ini datang dari sebuah judul yang nilai konsensus dari kritikus filmnya bias dibilang biasa-biasa saja. Saya agak terkejut juga karena biasanya film Eastwood selalu dapat skor tinggi. Tapi saya takkan ikut-ikutan menghakimi sebelum menontonnya sendiri.

Apa yang akan terjadi setelah kematian? Pertanyaan ini menjadi peluit start. Lewat tiga cerita paralel, Hereafter menjalin ikatan kisah senasib-sepenanggunan atas tiga karakter utama lintas negara: (1) wanita karier asal Paris berprestasi gemilang yang menjalani “hidup kedua” pascamusibah tsunami kala piknik; (2) seorang cenayang—diperankan Matt Damon—warga San Fransisco yang akan bertobat melakukan pembacaan; (2) bocah yang tinggal di London sedang merindu dan berat melepas kepergian saudara kembarnya.

Menonton film multiplot pasti memancing tanya bagaimana jadinya mereka bertiga nanti. Akankah saling berhubungan atau dibiarkan saja bak fragmen berserakan. Eastwood memilih formula khas Hollywood yang takkan menelantarkan penontonnya dengan tanda tanya besar berbuntut diskusi panjang dan debat kusir. Tapi inilah yang ke depannya malah jadi bumerang Hereafter.

Si cenayang merasa kehidupan sosialnya tersiksa. Ia merasa berkat yang ia punya merupakan sebuah kutukan. Hanya bersentuhan tangan, tanpa kesengajaan pembacaan, pun indera keenamnya langsung terkoneksi dengan entitas gaib dari orang yang disentuhnya. Wanita karier asal Paris yang merasa sempat memasuki alam kematian spontan gairah dan orientasi hidupnya berbalik 360 derajat. Ia tak tertarik lagi dengan popularitas dan kekayaan, fokusnya hanya mendalami apa yang telah terjadi pada dirinya dan berbagi kisah hidupnya pada sesama. Si Bocah dari London gamang atas situasi yang menghimpitnya. Tiba-tiba ia kehilangan panutan yang bukan lain merupakan kembarannya. Ia kesana-kemari mencari jalan untuk bias berkomunikasi dengan mendiang saudaranya.

Bukan Eastwood kalau tak memperdalam nilai-nilai maknawi pencarian. Itulah kekuatan Hereafter. Ia mengajak penonton juga mencari dengan cara yang lembut, tak grusah-grusuh. Menuntun dan membebaskan perasaan. Tapi tema semacam ini bakal sulit dan pasti akan selalu susah dikembangkan. Mengapa demikian? Karena semua bermain dengan pengandaian dan ihwal keyakinan. Hereafter pun tak bias lolos dari jebakan demikian.

Tiga per empat awal bagian film begitu terasa mengalir. Baru kelihatan bingung ketika menginjak naskah bagian akhir tentang mau dibawa kemana multiplot bertemakan sentuhan kematian ini. Penulis naskah pilih menyudahinya sebagai sebuah romantisme khas ending film drama komedi. Sah-sah saja, namun sayangnya tak terbangun konstruksi utuh mengenai kisah cinta di sini. Saya sadar bahwa masalah ketiganya tuntas di bagian akhir film, namun cubitan-cubitan adegan hingga paro film tak mengarahkan dengan jenis ending yang dihasilkan. Sebuah kejutan yang tak disangka namun meleleh seperti mendapati es krim yang dibeli dari supermarket telah lumer sesampai di rumah. [B-] 03/08/11

1 komentar:

  1. bro bagus! i am so glad to know you have a blog! though it's hard because it's in bahasa indonesia...

    BalasHapus