Minggu, 07 Agustus 2011

Resensi Film: Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 (2011)

Selang satu dekade berlalu, sebuah seri kisah petualangan trio di dunia sihir berakhir. Berasa telah menjadi bagian dari tak hanya kru pembuat film namun juga pemirsanya. Saya jadi teringat ketika pertama kali menonton seri pertama Potter lewat VCD bajakan yang mutunya bikin muntah-muntah. Macam colongan syut di dalam bioskop.

Tentu bukanlah kisah penutup yang dinanti-nantikan para pemirsanya lewat seri pungkasan ini karena telah umum diketahui dari bukunya, melainkan bagaimana adaptasi dan visualisasinya. Ekspektasi saya menonton seri ini hanya satu, semoga lebih baik ketimbang seri sebelumnya. Film dibuka persis dengan adegan penutup dalam Part 1. Alhamdulillah... Untung tak terwara “sebelumnya... di Part 1” (seperti dalam sinetron Cinta Fitri). Kencangkan sabuk pengaman sejak dini karena seri ini langsung tancap gas.

Kalau dalam Part 1 saya sangat bersyukur (seingat saya) tak tersaji format 3D, tapi seri pungkasan ini tak salah jika Anda menikmatinya dalam format 3D karena beberapa adegan berpotensi sensasional. Seketika, saya langsung berpikir mengapa tak dibuat saja The Deathly Hallows dalam satu judul alias tak perlu dipisah namun dengan durasi yang disesuaikan. Lord of the Rings saja mampu menyajikan dengan baik tiap serinya. Selain itu, sayang tak terlalu banyak agenda strada yang membidani seri Potter (tercatat hanya 4: Chris Columbus, Alfonso Cuaron, Mike Newell, dan David Yates). Bayangkan saja jadinya jika Potter distradai oleh Tim Burton, Peter Jackson, dll.

Beberapa komentar dari teman saya yang telah membaca bukunya... Ada yang bilang terlalu maksa memasukkan adegan-adegan ciuman, juga ada yang berpendapat untuk sebuah penutupan kurang akbar. Saya pikir sangat wajar dengan lontaran komentar demikian jika kita sudah membaca bukunya. Bagi yang belum, sensasi akan terasa sedikit berbeda karena belum mengetahui jalinan akhir kisahnya ditambah dengan intensitas plot yang solid akan mengesankan tingkat keseruan yang lebih maksimal.

Beberapa adegan yang cukup “cape deh...”, semisal pengadegan Potter dalam kondisi “sekarat” dan “19 tahun kemudian” menjadi cukup terkubur. Secara keseluruhan, David Yates membayar lunas kekhilafannya dalam Part 1 dan menyajikan win-win solution bagi pemirsa Potter. Sebuah khatam yang sukses menuntaskan penasaran. [A-] 07/08/11

1 komentar:

  1. haha "19 tahun kemudian" adalah pemerkosaan. bikin geli. That's so weird :D.

    BalasHapus