Jumat, 15 Juli 2011

Resensi Film Dokumenter: Panggung Kasetyan Balekambang (2005)

Dokumenter tak ada matinya. Lugas, tanpa tedeng aling-aling, terkadang liar, bahkan ngawur. Meski tak sedikit pula yang berpoles ria di sana-sini. Tapi toh tujuannya menyampaikan suatu pesan dengan cara yang lebih personal. Kali ini saya mendapati satu judul yang diberi seorang teman dari Rumah Sinema, diambil dari “In-Docs, DocuBox Vol. 8: Seri Pemeliharaan Lingkungan dan Tradisi”.

Saya kira film dokumenter nonfiksi Panggung Kasetyan Balekambang mau bercerita tentang kehidupan penuh peluh pedagang bunga di Pasar Bunga Solo, namun saya keliru. Ternyata tentang kesenian kethoprak Balekambang, 0-1 saya tertinggal. Lantaran di awal film tak spesifik menggambarkan mau bercerita ihwal apa film ini. Dua puluh menit panjangnya berisi (ibarat) diskusi panel infotainment namun tanpa presenter aduhai. Ada tiga kubu: seniman Kethoprak Balekambang, pemerintah, dan budayawan.

Babak awal, apa arti kethoprak bagi komunitasnya. Kedua, mengapa masih bertahan. Ketiga, mau dibawa kemana. Jelas sangat menarik membahas tema sejenis ini, upaya pelestarian produk seni. Saya tak akan membahas substansi di sini, karena forumnya akan lebih menarik jika diperbincangkan dalam forum diskusi. Yang jelas, film ini berujar tentang itu tanpa menggiring penontonnya condong terhadap satu kubu meski secara porsi pengadegan lebih banyak lewat seniman-sentris.

Sudut lusuh nan kumuh Panggung Seniman Muda di Balekambang sayangnya tak dieksploitasi secara dramatis oleh tim kreator (Fajar Nugroho & BW PurbaNegara). Saya butuh sentuhan lebih. Sesuatu yang membuat diri jengkel, iba, bahkan tergerak. Inilah perbincangan yang takkan ada habisnya dikupas. Sebuah cerminan kereta zaman yang digerakkan oleh bahan bakar berlabel kepedulian. [C] 14/07/11 (link: http://www.in-docs.org/directories/documentary/panggung-kasetyan-balekambang-the-unwavering-ketoprak-balekambang/id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar