Sudah
genap sebulan saya pulang. Pulang dalam artian kembali ke pelukan
keluarga yang hangat, kembali ke tempat di mana saya maknai sebagai
rumah kepadanya. Rasa senang dan lega memang sudah jadi jaminan saya
nikmati. Namun, apakah ada secuil rindu yang tersisa untuk entitas
selain rumah?
Beberapa
hari yang lalu, sahabat lama sejak masa putih abu-abu tiba-tiba
mengirim pesan BBM menanyakan posisi terkait penggantian display
picture
akun BBM saya. Dia bertanya, “Lagi di mana saiki
(Jawa: sekarang)?”
Alih-alih spontan menjawab, saya meneruskan kalimat tanya sederhana
itu ke diri sendiri. Sebenarnya menjawab pertanyaan itu supergampang,
yang membuatnya problematis adalah memahami alasan dan motif di
belakangnya. Mengapa kalau sudah pulang, tampilan yang saya pamerkan
di akun media sosial masih saja foto-foto semasa pengalaman dua tahun
berselang. Apakah memang untuk sekadar pamer kalau pernah bepergian
ke banyak lokasi terkenal di Benua Biru? Saya bakal mengasihani diri
kalau memang alasan utamanya sedangkal itu.
Saya
kemudian menjawab pertanyaan si sahabat dengan panjang lebar, boleh
dibilang berbelit-belit campur curhat. Intinya, saya jelaskan kalau
saya sudah pulang tapi sebagian hati dan pikiran masih tertinggal di
Benua Biru. Saya ceritakan juga kalau masih saja rindu dengan
keteraturan dan keserhanaan hidup di sana, khususnya di Negeri Kincir
Angin. Keteraturan yang saya maksud terutama mengacu pada
ketersediaan transportasi umum yang mampu menjamin ketepatan waktu
sesuai jadwal. Hal lainnya, ia mengacu pada aspek fungsional yakni
berjalannya sesuatu sesuai fungsinya, misalnya trotoar ya dipakai
sebagai trotoar, halte ya dipakai bus untuk berhenti guna
menaik-turunkan penumpang, penyeberangan zebra untuk memprioritaskan
pejalan kaki menyeberangi jalan. Sesimpel itu. Tak perlu dibangun
mewah, megah, dan mahal. Yang utama fungsinya berjalan.
Poin
lain, kesederhanaan yang saya maksud adalah gaya hidup yang tidak
semerta-merta materialistis. Suatu budaya yang tak doyan mengukur
tingkat kehebatan seseorang hanya dari segi finansial, kaya atau
miskinnya, melainkan berdasar kemampuannya (tidak judgmental).
Mentalitas
macam ini mendorong masyarakatnya tak terlalu pusingkan atribut yang mau dipamerkan. Sebagai satu contoh kecil, jalan
kemanapun cukup memilih bersepeda atau berjalan kaki. Tak usah
menyalakan sepeda motor atau mobil mewah kalau memang tak perlu. Efek
yang langsung terasa jadinya udara bersih nan segar karena minim
polusi sehingga kesehatan warganya pun lebih terjamin karena lebih
higienis. Bisa dihitung dengan jari berapa kali saya terkena flu kala
bersekolah di Negeri Tulips. Ironisnya, tak butuh kurang dari sebulan
bagi saya sekembali dari sana untuk terkena flu di tempat yang saya
asosiasikan sebagai rumah.
Keluh-kesah
ini membuat saya mempertanyakan ulang artian rumah. Jika dalam artian
keterikatan emosional interpersonal, tentu jawabannya tetap klise
yakni keluarga saya. Namun jika ditanyakan rumah dalam artian
geografis, sekarang saya meragu untuk menjawabnya. Bukan bermaksud
durhaka kepada Ibu Pertiwi. Tapi perlu kita tanyakan pula apa, siapa,
dan konsep ‘Ibu Pertiwi’ itu sendiri. Bagi saya, insan yang baik
adalah yang mampu merawat apa yang diamanahkan oleh-Nya. Di negeri
yang supermajemuk dari segi kultur ini konon banyak orang yang
mengaku religius, tapi di mata saya performa pemaknaan religiusnya
masih terasa minim. Sederhananya, lihat saja kondisi aktual di
jalanan. Tanpa rasa bersalah banyak pengendara kendaraan bermotor
menyerobot hak pejalan kaki, polisi tak tegas tegakkan regulasi, dan
lain-lain. Singkat kata, dapat kita saksikan krisis kesadaran diri di sana-sini.
Saya
makin mengenal personalitas diri setelah tinggal dan hidup selama dua
tahun di lingkungan yang masih menjunjung keteraturan dan
kesederhanaan. Sudah jelas bahwa tempat lahir bukanlah suatu pilihan.
Namun, kita punya banyak pilihan untuk menyikapinya. Ada yang
beradaptasi, berdamai, menolak, dan sebagainya. Untuk saat ini saya
memilih untuk tetap memimpikan bahwa keteraturan dan kesederhanaan
itu secara gradual akan terwujud, sambil mempromosikan kebaikan atas
dua hal itu dalam kesempatan berdiskusi. [25/10/15]
Satu lagu manis dari Mas John Mayer saya selipkan dalam coretan ini untuk menangkap kesyahduan rasa rindu rumah (yang kali ini secara konteks lebih ke rumah dalam artian geografis).
izin nyimak
BalasHapusThe 10 Best Casinos in Las Vegas - Mapyro
BalasHapus› Casinos › Casinos The 10 Best Casinos 전주 출장안마 in Las Vegas. Las Vegas, 강릉 출장샵 NV. Las Vegas, NV. The Casino is located on top of 대구광역 출장마사지 a golf course, near an outdoor 김포 출장마사지 pool. 경상남도 출장샵 There are 50 different casino