Rabu, 30 Mei 2012

Sebuah Episode Rumah Kaca dari Pram

Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles (Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan yang Terhina)

Itulah petilan kalimat penutup tetralogi Buru dari maestro Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca. Keriuhan di sekitar saya saat membaca bagian akhir tak terhiraukan karena saking khidmat nuansa plotnya. Saya syukuri telah khatam buku ini meski butuh lebih dari sebulan lamanya. Bukan karena tak menarik atau karena faktor-faktor lain yang berasal dari bukunya, melainkan karena alasan pribadi sahaja.

Rumah Kaca berkutat pada konflik diri Pangemanann, seorang arsiparis observan kolonial yang ditugasi mengamati aktivitas pergerakan nasional dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Tak butuh membaca lengkap seri-seri sebelumnya untuk melumat seluruh isi roman ini. Saya saja baru membaca seri pembuka, Bumi Manusia. Kedua seri lainnya belum. Pram senantiasa tetap membawa kita bergulat dengan rekonstruksi roman sejarah dan aspirasi lewat perspektif mendalamnya.

Mengapa bangsa Hindia seperti itu? Itu yang seperti apa? Dalam novel ini Pram menuangkan gagasannya secara apik lewat percakapan antarkarakter kreasinya yang berkelindan dengan tokoh-tokoh historis walau tak bersentuhan secara langsung. Pandangannya universal, menyibak persoalan tak hanya dari sudut pandang dalam tempurung. Kata atavisme pun saya temukan dalam diksinya. Belum pernah saya dengar, lihat, atau baca kata tersebut sebelum menikmati Rumah Kaca.

Lebih personal lagi, novel ini soroti pertaruhan prinsip, filosofi, atau (bahasa mudahnya yakni) pegangan hidup. Saya suka sekali ketika sebuah judul besar tak hanya membahas yang ndakik-ndakik, melainkan juga merendah hati berwibawa. Secara keseluruhan kisah, memang tak sebegitu manuveristik. Rumah Kaca pun tak cukup mengharukan. Kisah ditutup dengan transkripsi sebuah pucuk surat. Itu lebih dari sekadar cukup. Bahkan mengagumkan… 29/05/12

Minggu, 13 Mei 2012

Resensi Film: We Need to Talk about Kevin (2011)

Masih ingat dengan cerita film Elephant? Tentang pembunuhan massal teman sekolah di lingkungan sekolah. Saya pernah menonton acara bersumber youtube.com milik stasiun TV Trans7, On the Spot, ketika membahas 7 pembunuhan tersadis (kalau tak salah). Nah, pembunuhan yang diangkat pada film Elephant masuk salah satu jajaran daftar versi acara tersebut. Lalu mengapa saya mulai ulasan ini dengan mengingat Elephant? Hubungannya adalah kasus setaniyah yang diangkat.

We Need to Talk about Kevin memandang dari sudut hubungan antara seorang ibu dengan putera “iblis”-nya. Film ini mengurai cerita mulai dari sang ibu bercinta, melahirkan putera pertama bernama Kevin, hingga punya putera lagi yang tentu menjadi adik bagi Kevin. Jangan kira khas drama konvensional akan Anda saksikan dalam film ini. Melainkan sebuah interpretasi suasana mental sang ibu yang diperlihatkan secara intens. Kevin yang dibicarakan sejak judul adalah bocah berkedalaman emosional misterius. Potensial menjadi psikopat.

Permainan sinematografi dan akting pemeran utama sang ibu peranan Tilda Swinton merupakan dua menu utama presentasi film ini. Diadaptasi dari sebuah novel, tentu membuat saya membayangkan bagaimana sajian naratif-deskriptif bukunya lewat sajian filmnya. Dalam hal ini, saya cukup menyanjung si strada. Kendatipun demikian, saya tipikal penonton film yang suka dengan cerita tajam bermagnet kuat. Dari sudut pandang yang terakhir, saya tak terpuaskan oleh film ini.

Saya terang-terangan tak rekomendasikan film ini ditonton jika unsur cerita menjadi harapan utama. Jika Anda butuh referensi sinematografi psikologis, mungkin film ini bisa jadi pilihan untuk Anda tinjau. Saking seriusnya film ini, saya segera ingin menebusnya dengan menyeruput minuman segar. [B-] 13/05/12