Sampai saat ini belum ada film
Hayao Miyazaki yang mengecewakan saya. Tapi, barangkali memang tak ada yang
layak dikecewakan oleh siapapun. Nausicaa bercerita tentang kepahlawanan
seorang gadis puteri raja dari suatu kerajaan damai-permai yang terletak di
lembah. Keberlangsungan hidup bangsa mereka ditopang oleh keselarasan dengan
alam, saling membutuhkan satu sama lain. Antara manusia dan alam (air, api,
dsb), pun manusia dan makhluk lainnya. Kisahnya terjadi, kalau saya tidak salah
ingat, seribu tahun setelah kejayaan masa industrial berlangsung. Kondisi alam
memprihatinkan. Daratan bumi bisa dibilang sekarat. Keadaan ini diperparah lagi
dengan bentrok antarkerajaan, yang mana mereka saling bersitegang memainkan
cara masing-masing supaya mampu bertahan hidup. Mereka serang kerajaan lain,
mengumpankan atau mengorbankan kedamaian kerajaan lain, dsb.
Bagi yang tak terlalu menyukai
sensasi-sensasi fantasi yang imajinatif, mungkin saja karya Hayao Miyazaki bisa
membuat eneg di awal karena banyak sekali karakter makhluk (flora-fauna)
digambarkan secara aneh bahkan “menjijikkan”. Namun di luar itu semua, karya
Hayao selalu menitipkan wejangan moralistik dalam bentang plot visioner. Kalau
Anda rajin menyimak alunan musik pengiring film-film Hayao, pasti selalu
disuguhkan dendangan khas kanak-kanak. Begitu tulus, polos, dan menentramkan.
Memang tidak ada klimaks
menohok yang ditampilkan. Hanya saja, begitupun sebuah karya sinematik bisa
berkata banyak. Setelah menonton karya-karya Hayao Miyazaki, saya selalu
dingatkan kembali atas kepedulian. Mungkin inilah prioritas yang tercitra dari
karya-karya Hayao Miyazaki. Porsinya sangat dominan. Kalau untuk unsur
persahabatan saya lebih condong memilih karya-karya pabrikan Pixar. Nausicaa,
tetap punya cap jaminan mutu kelas wahid dari Hayao Miyazaki. [B+] 29/07/12