Rabu, 28 Oktober 2009

Terkabul

Pernah merasa berhasil mendapatkan suatu yang dulu pernah diimpikan, diidamkan, dibayangkan? Waktu itu saya baru mau kembali ke Jakarta selepas cuti mudik ke Jogja. Stasiun Tugu, 11/10/2009, di atas Taksaka Malam sekitar pukul 20.00 WIB.

Sekembalinya ke rantauan sendirian, masih seperti biasa. Barang bawaan sedikit. Tas ransel dan sekotak kardus penuh oleh-oleh. Cukuplah untuk ditenteng sendiri walau musti bergantian tangan buat menghilangkan rasa nyerinya. Tangan kanan capek nenteng, ya dipindah ke tangan kiri. Tangan kiri dan tangan kanan capek, ya ditaruh bentar barang bawaan di permukaan. Begitulah adanya hingga sesampai di kos.

Konon kata banyak orang atau mungkin dalam naskah film pernah dibilang bahwa kerja adalah martabat, harga diri. Lama-lama saya pikir ada benarnya juga. Apa jadinya kalau diri ini hanya berpangku tangan padahal kaki terbebas dari belenggu dan semua indera terbebas berkarya. Inilah yang saya pikirkan malam itu.

Bekerja adalah satu kata kerja yang dulu sejak SMU saya cita-citakan. Sejak SMU, saya berandai-andai tentang apa yang akan saya lakukan dengan gaji pertama dan segalanya tentang itu. Bisa beli stereo mewah ditambah koleksi CD favorit (baca: bukan kaset lagi). Itulah my boy-ish dream.

Dari atas turun ke bawah. Dari pikiran turun ke perasaan. Sensasi terkabul memang menakjubkan. Tak cukup kata alhamdulillah. Tak cukup ekspresi wajah. Andai semua orang bisa merasakan apa yang saya alami pada saat yang bersamaan.

Meski bulan ini saya mendapatkan bulanan yang ke-23, nah saya belum beli stereo mewah ditambah koleksi CD favorit (baca: bukan kaset lagi). Entah mengapa. Mungkin saya membiarkan begitu saja supaya ingin jadi motivasi saya sampai kapanpun. Tak ada permainan yang lebih mengasyikkan ketimbang bermain dengan pikiran dan perasaan.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk Ibu tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar