Kamis, 27 Juni 2013

Resensi Film: Stoker (2013)

Park Chan-Wook, bo’. Satu strada asal Negeri Ginseng yang namanya meledak lewat film “sedeng”-nya Oldboy. Stoker menjadi naskah peruntungan untuk dijadikan karya film berbahasa Inggris pertamanya. Bagi penggila Oldboy, harap tenang… Park tak menghilangkan daya pikat sinematografisnya. Pun puncratan darah. Tetap ada. Memangnya, apa Stoker termasuk “sedeng” juga?

Langsung saya jawab saja. Tidak. Sama sekali tidak. Buat saya, naskah dasar Stoker tak cukup baru dan orisinil untuk diracik oleh Park. Film ini menawarkan drama tegang berbasis psikologi lewat teka-teki intrik keluarga. Dimulai dengan tewasnya seorang suami-ayah (yang isunya) dalam sebuah kecelakaan mobil. Keluarga kecilnya yang hanya beranggotakan seorang isteri-molek dan seorang puteri-sedang-puber mengadakan acara pemakaman. Secara flamboyan datanglah sesosok lelaki misterius tapi rupawan dan modis ke acara itu. Ia belakangan memperkenalkan diri sebagai adik dari si pria yang telah dimakamkan.

Mulai dari sinilah ketegangan coba dibangun Stoker. Mencari-cari tahu identitas si sosok lelaki misterius tadi. Kejadian demi kejadian menuntun si puteri ke dalam posisi sebagai “detektif”. Tapi pemirsa, mohon maaf sekali, saya sebagai penikmat film yang jarang menonton film tegang saja sangat mudah bisa menebak jalan ceritanya. Dengan kata lain, film ini belum berhasil menorehkan kebaruan dan kejutan berarti.

Kabar baiknya, datang dari aspek teknis. Film ini masih terasa Park banget. Terima kasih perlu dihaturkan untuk si sinematografer (saya lupa namanya) yang masih setia digandeng Park. Ia membuat Park tak perlu galau memperkenalkan karya berbahasa Inggris perdananya. Selamat datang di dunia film berbahasa Inggris, Tuan Park! Mohon untuk film-film berbahasa Inggris Anda berikutnya supaya lebih selektif dalam menerima naskah. [C/B] 27/06/13

Senin, 24 Juni 2013

Resensi Film: Ali (2001)

Satu kata, satu judul film, satu nama-orang islami. Gampang tertebak pula bahwa film ini berdasarkan kejadian nyata yang pernah dilalui sang juara dunia tinju kelas berat, Muhammad Ali. Will Smith didapuk menjadi pemerannya. Harus diakui kalau akting Om Will patut dihargai, meski saya sempat membatin “kok, badan Ali kurang gempal ya?” Kegempalan body Ali sebenarnya tak perlu saya bayang-banyangkan atau googling karena di film ini sendiri ada kilasan adegan riilnya.

Si petinju legendaris ini ternyata punya banyak koneksi rekan politik. Itu sesuatu hal baru yang ada di pikiran saya sejak menonton Ali. Maklum, karena saya belum pernah membaca biografi tentang Ali. Yang saya tahu, ia seorang petinju berprestasi dan faktor x-nya adalah ia seorang muslim. Nah, sekarang mari ditilik siapa stradanya. Wajar dan maklum jika Ali menjadi cukup begitu politis. Stradanya saja si Michael Mann (The Insider).

Saya cukup menghormati Mann. Karya-karyanya sangat tipikal dia. Serius, intens, dan menghujam di beberapa bagian. Lantas, akankah formula Mann bisa berbicara banyak lewat film ini? Materi yang diangkat cukup bias. Belum lagi kita kenal karakter Ali secara akrab, sudah langsung dicemplungi bumbu-bumbu politis. Jangan harap akan melihat banyak adegan baku hantam dan jotos dari sarung tinju di atas ring lewat film ini. Sungguh tak mendominasi. Tambahan lain, ini bukan film tipikal from zero to hero.

Tetap, bagi saya ini sebuah film drama politis. Tak memenuhi harapan saya untuk mengenal lebih jauh siapakah Ali. Plusnya, Michael Mann nyaris selalu konsisten berkarya apik dan khas. Minusnya, saya bilang film ini terasa agak insignifikan dibanding karya-karya Mann lainnya. [C/B] 24/06/13

Minggu, 23 Juni 2013

Resensi Film: Oz: The Great and Powerful (2013)

Indra penglihat saya dimanja-manja oleh pemandangan panorama alam Oz di film ini yang penuh semburat kontras warna cerah merekah, merangsang suasana hati ceria. Tapi bagi penonton yang belum menonton film ini, tunggu dulu pengalaman ini sampai (paling tidak) setengah jam durasi sejak film berputar. Di fase awal, Oz disajikan dalam panel layar monokrom beraspek rasio entah berapa banding berapa namun yang jelas hampir berbentuk kotak-tak.

Saya akui dulu, kalau sama sekali tak familiar dengan kemasyhuran kisah The Wizard of Oz. Pokoknya mau nonton Oz saja. Magnet bagi saya antara lain nama besar si strada Sam Raimi dan aktor-aktris kondang yang berperan di dalamnya. Singkat cerita, Oscar (bernama panggil “Os” atau bisa juga “Oz”) merupakan seorang pesulap keliling. Ia mengidolakan Houdini dan Thomas Edison, sampai-sampai berangan mampu mengimitasi karier mereka. Namun ia sadar, ia takkan bisa jauh sampai ke angannya itu. Ia yang dikenal pula sebagai tukang tipu, perayu wanita, dan doyan berkata pedas ini dalam suatu insiden terdampar ke sebuah alam antah-berantah yang kebetulan bernama sama dengan nama panggilannya, Oz.

Lalu ngapain ia di sana? Ternyata, di Negeri Oz ia telah ditunggu-tunggu. Telah tersebar luas di tengah masyarakat atas sebuah rumor-ramalan bahwa akan datang seorang jagoan sihir yang bakal menciptakan perdamaian Negeri Oz yang saat itu tengah dirundung perseteruan. Sebuah premis khas dongeng anak-anak, bukan? Memang! Apalagi film ini didistribusikan oleh Disney.

Selain mata saya dimanjakan keindahan alam Oz interpretasi Sam Raimi dan drama hiburan hitam-putih di awal film, tak ada yang membuat saya kesengsem film ini. Sayang saja. Terlebih, saya cukup menyukai beberapa karya Sam Raimi. Ada apa, Om Raimi? Untuk ukuran film anak-anak, Oz kemesuman dan kurang ampuh mengajarkan pesan moral. Untuk ukuran film remaja ke atas, Oz kendur. Sebuah masalah yang sama dihadapi oleh Alice in Wonderland-nya Tim Burton.

Inilah Oz yang tidak seagung dan seperkasa judulnya. [C] 22/06/13  

Sabtu, 22 Juni 2013

Resensi Film: Good Bye Lenin! (2003)

Salah satu khas film produksi daratan Eropa: tak peduli melibatkan adegan penampil organ vital. Ini berlaku di Goodbye Lenin. Ada 1 adegan yang jelas mengganggu para penonton konservatif. Padahal bukan menyangkut perkara sensualitas ataupun seksualitas. Dari judulnya, ada kesan politis tercuat. Tak sepenuhnya meleset, namun di atas semuanya Goodbye merupakan film drama keluarga.

Sayang sekali saat menontonnya, saya termasuk yang telat. Banyak teman yang sudah menyaksikan duluan. Di luar itu, ada kendala teknis dan personal buat saya saat menikmatinya. Saya menonton film ini secara bersambung, terbagi ke dalam dua kesempatan. Yang pertama cuma 30 menit durasi awal, sedang sisanya dirampungkan dalam kesempatan kedua yang mana telah berselang beberapa minggu lamanya… Alamak! Jadi sempat sedikit lupa saya bagian-bagian awal filmnya.

Mengisahkan tentang sebuah keluarga yang sedang melalui cobaan hidup dalam fase transisi reunifikasi Jerman (1990-an). Seorang wanita karier idealis berideologi “kiri” ditinggal suaminya. Ia tinggal bersama satu putera dan satu puteri. Si putera dengan gejolak kawula mudanya mulai menaruh perhatian pada soal politik, yang mana berseberangan dengan jalur politis sang bunda. Dalam suatu kejadian, sang bunda menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa si putera ikut turun berdemonstrasi. Ia syok, mendapat serangan jantung hingga koma berkepanjangan. Saat sang bunda mulai sadar, dokter berpesan supaya sang bunda terjaga dari berita-berita mengejutkan.

Masalahnya, dunia telah berubah saat sang bunda siuman. Tembok Jerman telah jebol. Jerman jadi satu, kapitalisme merangsek. Si putera mengajak kakak perempuannya mengondisikan kehidupan masih berjalan persis seperti keadaan sebelum ibu mereka koma.

Sensasi yang saya dapat di durasi awal membuat saya tak mengantisipasi hembusan angin emosional di babak-babak akhir. Iringan ilustrasi musiknya walaupun tak megah dan mudah terkenang ala Holiwut, namun mampu sekali mewakili suasana. Ada hal-hal yang membuat saya merasa bahwa film ini manis. Kemanisan yang tak diwarna-warnai. Tak diberi penyedap rasa atau pengawet. Dan itu yang membuat saya merasa nyaman. [B+] 22/06/13

Jumat, 14 Juni 2013

Resensi Film: Detachment (2011)

Alasan yang membuat saya menonton film ini yakni latar belakang si strada, Tony Kaye, yang pernah mencetak American History X dan tema pendidikan. Tetap saja, garis besar dari semua itu adalah edukasi. Tony sepertinya cukup menaruh perhatian pada isu fundamental yang satu ini. Dalam kreasi yang lebih muda ini, si strada mengangkat plot lebih ringan bila dibanding karya tersohor pendahulunya.

Seorang guru pengganti (diperankan  oleh Adrien Brody) datang. Sekolah yang dilawatinya sekarang termasuk “buangan”, banyak siswa-siswi pembangkang di sana. Seketika mengingatkan kita pada film Fredom Writers. Di film ini, bedanya mulai terlihat pada cara penggarapan sinematik. Sejak awal dibuat agak-agak ala semidokumenter, meskipun fiksi. Yang menjadikannya menarik buat saya adalah ada sisi lain yang ingin disampaikan lewat tema edukasi. Sisi itu lebih ke personalitas dan figur karakter.

Dikisahkan dalam film ini si guru baru mampu menarik hati beberapa orang di sekitarnya. Ia menunjukkan ketulusan dan empati dalam bungkus natural. Tidak ia tunjukkan hipokrisi. Namun, bukan lantaran hal ini menjamin kemulusan interaksi sosial. Tentu bisa dimaklumi bahwa akan ada momen friksi ketika kita (dianggap) bersikap baik kepada semuanya. Film ini mendeskripsikan sensibilitas kejadian ini secara pas.

Detachment tak terkenal, tapi ia mampu menghempas hati bagi pemirsa-pemirsanya yang sedang sensitif. Satu lagi film bertema sekolahan dan parenting yang layak direkomendasikan. [B] 12/06/13