Rabu, 27 Maret 2013

Resensi Film: The American (2010)


Jangan terperdaya oleh judul dan poster filmnya! Itu pesan moral utama yang saya tangkap dari film ini. Setelah membedil tiga orang di Swedia yang waktu itu tengah diselimuti salju, seorang pria irit bicara bertatapan-mata tegang penuh-pikiran berpindah-pindah kota dan negara, masih di atas daratan Eropa. Ia sering menelepon seseorang via pojok telepon umum koin. Ketika tersambung, bicaranya serius. Singkat seperlunya dan jelas. Dari gaya bicaranya, ia berbahasa Inggris aksen Amerika. Ia orang Amerika!(???)

Sampai film rampung, saya tak mengerti poin keamerikanan apa yang diangkat lewat karakter utama yang diperankan oleh George Clooney dalam film ini. Saya malah merasa bahwa film ini lebih sip jika dikasih judul sebagaimana judul novel aslinya, A Very Private Gentleman. Saya malah terheran-heran, ketika si strada berhasil membuat saya, sebagai penonton, menangkap ruh judul versi novel asli mengapa musti perlu mengubah judul film yang malah justru menurut saya kurang klop dengan isi film.

Si orang Amerika ini ceritanya sedang berada di persimpangan. Melakukan satu dosa terakhir untuk membuka lembaran baru. Ia mau insyaf, intinya. Kalau dibilang klise, memang tak total keliru jika dinilai demikian. Tapi yang membuat saya mengapresiasi film ini adalah eksklusivitas aspek teknis. Rapi betul kemasannya, total mendukung nuansa hening film. Dengan dialog minim, apalagi yang bisa ditawarkan? Menciptakan nuansa film secara intens menjadi solusi substitusi yang bijak. Untuk ukuran jalan cerita yang tak begitu rumit, saya lihat The American telah mampu berikan yang terbaik—sembari teringat jargon salah satu merek rokok putih “talk less, do more”. [B] 26/03/13

Resensi Film: Das Weisse Band - Eine Deutsche Kindergeschicte/The White Ribbon (2009)


Sekian banyak cerita terburai terhembus angin begitu saja. Seolah sulit tuk menangkapnya. Anehnya, tak jarang kesulitan itu tiba-tiba malah menagih kita di masa-masa yang selaiknya sudah tak perlu lagi mengungkit. Adalah sebuah film Palem Emas Cannes arahan Michael Haneke yang mampu membuat saya terkesiap dalam sikap sederhana. The White Ribbon merupakan penuturan seorang guru tentang misteri tak terpecahkan di masa lalu yang membuatnya penasaran selalu. Dengan bercerita, setidaknya, ia bisa merasa sedikit membagi beban rasa tanda tanyanya.

Apa gerangan misteri itu? Kalau saya ceritakan sepintas, mirip-mirip premis film horor. Di suatu perkampungan di Jerman, terhunilah masyarakat yang awalnya baik-baik saja. Sejak tragedi terjatuhnya seorang dokter satu-satunya di desa itu secara terpelanting dari atas kuda karena kaki si kuda terjegal jebakan kawat tak kasat mata yang melintang, satu per satu kartu-kartu bobrok milik warga desa tersibak. Gambaran struktur desa di film ini lumayan genap, sebut saja: orang paling tajir (ada!), pemimpin spiritual (ada!), guru/intelektual independen (ada!), dokter/ahli kesehatan (ada!), anak cacat (ada!), dll.

Dengan gaya penuturan yang realis, Haneke menuntun saya mendalami hidup tiap karakter yang ia munculkan. Sebagai tambahan, layar film ini monokrom (hitam-putih). Ini memperkuat aksen set waktu peristiwa, yang terjawab di bagian akhir film. Gambar boleh saja hitam dan putih, tapi tak sedemikian dengan karakterisasi dramanya. Bagi saya, ini dia satu lagi film jawara yang menampilkan ketenangan mendalam sekaligus misterius rahasia buatan aksi-aksi manusia. Entah kapan itu semua terjawab. Sampai-sampai saya berpikiran, sebenarnya apakah saya memerlukan jawaban dari setiap teka-teki atau tidak? Angin berhembus… [A] 26/03/13

Jumat, 22 Maret 2013

Resensi Film: Psycho (1960)

Alfred Hitchcock. Mmm… sepertinya satu nama besar dan tersohor. Saya belum kenal siapa dia. Lewat Psycho, dan saya pun mulai kenal dia… Film monokrom berdurasi hampir 2 jam ini saya tonton berawal iseng-iseng saja. Penasaran karena saking terkenalnya judul film ini. Adegan awal menampilkan sepasang sedang menyudahi aksi ranjang di sebuah kamar. Di seling-seling konversasi antarkeduanya, kecupan demi kecupan bibir silih berganti mendarat. Tak ada yang mau kalah. Mesra banget.

Sampai situ saya belum punya ide, perihal apa film ini akan bertutur. Ow! Saya baru tercerahkan tentang direksi film ini sejak (sekurangnya) adegan ketiga dan seterusnya. Seorang pegawai-wanita senior sedang membawa kabur uang perusahaan. Ia buron. Di sepanjang pelariannya, si pegawai merasa terteror, cemas, dan was-was.

Dengan mengikuti perjalanan melarikan diri si pegawai ini saja, saya sudah dibuat tercekam. Kuat di olah mimik dan penghematan adegan. Mengapa hemat? Karena dalam beberapa rekonstruksinya, adegan-adegan diakronis hanya terselipkan sebagai suara-suara pikiran. Meskipun penonton tidak mendapat gambaran adegannya, namun kita tahu bahwa ada kelanjutan cerita di belahan ruang yang lain. Saya tak sangka, ternyata pola yang menurut saya komikal ini sangat efektif dipakai oleh Hitchcock. Sederhana tapi jenius.

Ini belum seberapa… Masih ada lagi kelanjutan plot yang lebih bisa membuat kita paham kenapa film ini berjudul psycho. Hitam-putihnya layar film malah membuat atmosfer dramatis penuh ketegangan mampu terbangun sempurna. Ni strada bikin drama psikologis jadi hiburan kelas tinggi. [A-] 22/03/13

Kamis, 21 Maret 2013

Resensi Film: L.A. Confidential (1997)



Kilas balik menyaksikan wajah-wajah aktor beken yang sampai saat ini masih produktif berkarya lewat L.A. membuat saya tersadar bahwa faktor “f” alias fisik memang tak terbantahkan pentingnya di industri film Holiwut. Di film ini, wajah Kevin Spacey dan Russell Crowe terlihat masih pada kencang, mulus bebas keriput, dan merekah. Beruntungnya, mereka tak hanya bermodal tampang saja melainkan kemampuan olah peran mereka juga tak kalah merekahnya. Poin lainnya, saya jadi tahu bukan hanya sekarang-sekarang ini saja kualitas akting mereka yahut tapi memang sudah sejak baheula.

Dari judul dan posternya saja sudah tertebak mau bercerita tentang apa film nomine film terbaik Oscar ini. Dua sisi uang logam: polisi dan investigasi. Diadaptasi dari sebuah buku, membuat film ini cukup terkesan padat dalam garis plot tebak-tebakan seru. Walau judul dan posternya mudah ditebak, tidak sedemikian dengan jalan akhir ceritanya. Saya gagal menebak siapa gembong penjahat dalam film ini sebelum terjawab dengan sendirinya. Sial!

Mmm… Saya agak kesulitan membeberkan sinopsisnya tanpa tak sengaja menjadi penghancur kejutan. Baiklah, begini sederhananya… L.A. mengisahkan upaya kepolisian Los Angeles mengembalikan citra positif setelah sempat tercoreng karena insiden penghajaran beberapa tawanan di lorong sel oleh beberapa oknum polisi di suatu pesta malam Natal. Sejalan dengan upaya itu, kepolisian dihadapkan pada tuntutan mutlak suksesnya investigasi terhadap kasus pembunuhan keji di sebuah kedai makan. Sialnya, saat itu tubuh internal kepolisian sedang amburadul alias tak solid. Lengkap sudah!

Bagi saya, film investigasi ini penuh MSG (vetsin). Lezat dilahap, bikin ogah mandeg sebelum kehabisan. Saya heran saja mengapa Akademi bisa menominasikan film ini menjadi salah satu kandidat film terbaiknya (walaupun akhirnya gagal). Untuk ukuran selera Oscar, L.A. tergolong ringan, santai, bahkan asyik… Tak ada pengalaman sinematik aneh-aneh di film ini. [B] 20/03/13