Kamis, 31 Januari 2013

Almanak: Mengejar Sunrise



Kami sewa tuk-tuk penjemput kami waktu di bandara untuk mengantarkan ke kompleks Angkor Wat keesokan harinya di pagi-pagi buta mengejar panorama sunrise berlatar Angkor Wat. Oleh si pengemudi, ongkos carteran dibanderol USD17 selama setengah hari tak sampai sunset. Tak bisa ditawar lagi. Toh, harga itu terbilang murah apalagi dibayar keroyokan. Belum lagi, setelah kita tahu bahwa harga BBM di Kamboja jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di  Indonesia. Karena sepengamatan saya harga BBM di Kamboja bervariasi, tergantung perusahaan dan lokasinya, reratanya kisaran 5100 riel/liter (kurs USD1=4000 riel). Lebih dari USD1/liter, bukan? Bandingkan saja dengan harga BBM premium di Indonesia yang hanya sekitar USD0,5/liter. Ketimpangan harga BBM ini mengilhami saya untuk terus memutakhirkan pengetahuan tentang harga-harga BBM di tempat lain hingga pengujung tujuan perjalanan, Ho Chi Minh City.

Dalam coretan singkat ini, saya takkan beberkan sejarah Angkor Wat. Alasan utamanya, keterbatasan saya secara substansial (padahal semasa kuliah pernah belajar tentang Sejarah Asia Tenggara I dan II dengan nilai B+ dan A). Ha3… Pengalaman saya ke Angkor Wat cukup maraton. Pagi hari pukul 04.00 waktu setempat (sama dengan WIB) alarm hape berbunyi, saya tundakan alarm tersebut untuk bisa terlelap sejenak kembali. Janjian dengan si pengemudi tuk-tuk pukul 04.30—04.45 membuat saya tak lama kemudian bergegas siap-siap berangkat tanpa perlu mandi karena selain hawanya masih dingin pun buat apa? Belum tahu waktu-waktu solat di sana, saya niati saja solat Subuh dulu sebelum berangkat. Daripada nanti kesulitan cari tempat solat, pikir saya. Setelah dicaritahu, ternyata waktu solat saya terlampau lebay. Jauh sebelum jatuh temponya. He3…

Sensasi silir angin kencang bin dingin semalam ketika beranjak dari bandara pun terasa kembali selama perjalanan ke Angkor Wat di pagi buta itu. Tak ada puitisasi terdengar kokokan ayam di tulisan ini. He3… Malahan kali ini udara terasa sedikit lebih menggigilkan. Jaket saya pakai lagi sebagai penutup telinga. Subuh itu jalanan terasa begitu lengang, lampu-lampu penerangan hanya menyala di bilangan pusat kota. Kala memasuki kawasan agak pinggiran, cahaya-cahaya lampu mulai absen. Gelap-gulita…

Siem Reap merupakan kota wisata dengan Angkor Wat sebagai obyek utamanya. Menantikan sunrise di pelataran Angkor Wat sudah menjadi salah satu atraksi populer menu pariwisatanya. Makanya, sewaktu kami berangkat pun sudah banyak wisatawan-wisatawan yang berjalan ke arah yang sama. Tak hanya naik tuk-tuk, di antara mereka banyak pula yang mengendarai sepeda (kayuh). Banyak persewaan sepeda di sana. Saya sebenarnya ingin mencoba cara itu tuk nikmati Siem Reap, mengingat kotanya yang serba cukup nyaman. Belum padat betul, di kanan-kiri banyak toko turistik, lajur umumnya 2 arah (kalau nyasar bisa balik arah langsung). Asyik betul rasanya membayangkan cara lain itu…

Belum begitu lama perjalanan, kami berhenti di sebuah area loket penjualan tiket. Oh… ternyata sudah sampai, dekat ya (batin saya). Turunlah kami dari tuk-tuk menuju jajaran loket tersebut. Ini dia, seperti yang banyak diceritakan dalam blog perjalanan. Kamboja, terutama di lokasi-lokasi turistik, masih menerima mata uang USD. Kami tak perlu pakai riel untuk beli tiket. Cukup sodorkan USD20 buat tiket masuk seharian (ada juga paket masuk selain itu—misal 3 hari kunjungan). Mereka lalu ambil gambar kami satu per satu dengan kamera yang sudah disiapkan di atas meja bibir-loket. Setelahnya, kami dipersilakan menyingkir dari jalur loket, diminta menunggu kartu tiket pengunjung jadi… Tak lama kemudian, mungkin sekitar 5 menit, kartu itu sudah jadi.


Kami bergegas menuju kembali ke tuk-tuk. Sekitar 15 m dari area loket, tuk-tuk berhenti lagi. Ada pengecekan kartu pengunjung. Para petugasnya muda/i. Sambil berucap: thank you, mereka persilakan kami lanjutkan perjalanan. Oke, mana-mana… Angkor Wat yang tersohor itu? Sudah 10 menit perjalanan kok belum sampai juga… Lah, loket tadi itu terus lokasinya di mana? Kok kami belum sampai-sampai juga neh? [31/01/13]

Rabu, 30 Januari 2013

Almanak: Pertama Kanan

Dari dalam kabin, tak cukup nampak pemandangan hamparan titik-titik lampu di atas kanvas gelap daratan pada malam hari, padahal pilot telah umumkan pesawat akan segera mendarat di Bandara Siem Reap. Rasa penasaran mendorong saya celingukan awasi panel-panel kecil jendela kaca di sisi badan pesawat. Pandangan saya coba menembus mereka. Sedikit demi sedikit mulai terlihat sejagat lampu. Tak semeriah-riuh yang seperti kita lihat sewaktu terbang melintas di atas Jakarta, sekalipun di Jogja. Dengan pendaratan yang bisa dibilang tak begitu lembut, saya pun bersiap diri turuni kabin. Menyentuh tanah Kamboja, untuk pertama kalinya!

Oh… bandaranya kecil gini (gumam saya). FYI, gambar di atas saya comot dari situs wikipedia. Saya sepintas lupa kalau sedang mendarat di kota kecil, bukan sebuah ibukota negara. Namun, lama-kelamaan bandara ini menunjukkan aksen rapi, bersih, dan menawannya dalam kesan sederhana. Setelah mengisi formulir keimigrasian, kami antre di satu loket. Ibu petugas loket pilihan kami rada kurang sumeh. Jeglokan stempelnya keras: “jeglok, jeglok!”. Ia salurkan energi milik orang yang lagi marah bin kesal karena punya masalah di rumah. Hasilnya, lembaran paspor teman saya di-staples berhalaman-halaman oleh si ibu itu. Punya saya stempel paspornya pun meloncat indah. Ada beberapa halaman yang dilompati. Waktu SD, apa si Ibu ini lulus mapel prakarya ya? Hadeuh

Setiba di teras pintu keluar bandara, kami sibuk mencari-cari papan nama jemputan. Tak begitu banyak penjemput di situ, ibaratnya hanya ada satu lapis melingkar. Tak lama kemudian kami temukan nama teman kami terpampang sebagai pemesan kamar hostelnya. Senang rasanya tak perlu berlama-lama mencari-temukan satu sama lain. Secara santai dan ramah kami pun dibawa si penjemput ke parkiran bandara. Di situ terletak tuk-tuk berjajaran. Beda bentuk dengan tuk-tuk Thailand. Bentuknya lebih kecil, ramping, dengan model jok penumpang berhadapan membelakangi sopir bukan menyamping seperti di Thailand. Angin malam saat itu terasa cukup semilir dingin. Meski tak sampai menusuk tulang, tubuh saya merasa sedikit keberatan dengan semilir macam itu… Telinga berasa dibikin geli hingga syaraf merespons hingga ke perut.

Tuas kaki sepeda-motor-penarik tuk-tuk digenjot oleh si pengemudi buat nyalakan mesin. Tuk-tuk kami siap berangkat. Tuk-tuk kami ke luar area bandara perlahan dengan sedikit sensasi geronjalan. Di pos satpam, saya melihat ke arah halaman muka bandara. Nampak betul bandara ini terawat. Mungkin masih baru. Jauh lebih mengesankan ketimbang Adisutjipto, jika kita mau membandingkan antara keduanya sebagai kota wisata. Tangan saya gemas tak pencet-pencet shutter kamera-saku digital, karena sadar kualitas potretan yang pas-pasan di malam hari jika tanpa dibantu tripod. Di samping itu, juga fokus saya untuk nikmati perjalanan menuju hostel. 

Menjauhlah kami dari bandara beraura mungil tapi elok itu. Di luar kompleks bandara, suasananya gelap secara harfiah. Lampu-lampu penerangan jalan banyak yang mati. Saya tak begitu perhatikan hal ini sejak awal karena terusan sibuk melawan semilir angin kencang. Setelah jaket yang sedang saya kenakan dipakai menutupi telinga, saya mulai merasa nyaman. Naik tuk-tuk selalu membuat saya merasa diserbu hembusan puluhan kipas angin. 

Selama perjalanan, di kanan kiri jalan banyak berdiri hotel mewah nan megah. Rata-rata memakai kata "Angkor", "Apsara", kalau enggak ya "Siem Reap" atau "Bayon". Suasana jalanan menyerupai jalan pas dari Pelabuhan Ketapang menuju ke pusat kota Banyuwangi. Malam hari sepi-sunyi, tapi giliran mendekati area hotel keramaian pun tak terhindarkan. Eits… tiba-tiba saya sadar. Ternyata lajur kemudi di sini berada di sebelah kanan jalan. Ini di luar perkiraan saya karena tak sempat baca-baca sebelumnya. Wah… Kamboja. Selamat, Kamu telah menjadi negara-bersisi-kemudi-kanan pertama yang saya kunjungi! Tahu kami dari Indonesia dan berbahasa induk Melayu, si pengemudi pertama--karena kemudian berganti pengemudi--ketika pamit berucap "makasih" kepada kami. Bagi saya, itu bentuk kerendahan hati turisme mereka. Or-khun! [30/01/13]

Selasa, 29 Januari 2013

Almanak: Hampir 6




Hampir 6 tahun berselang… Sejak untuk pertama kalinya saya injakkan kaki di luar Indonesia dengan stempel basah di atas lembar-kertas paspor. Malaysia, negeri jiran yang selalu diposisikan sebagai saudara lama jarang akur ini merupakan pintu pertama bagi saya tuk kunjungi negara-negara lainnya. Dulu, saya cicipi megahnya bandara KLIA. Sekarang, saya jajal kesederhanaan LCCT. Meskipun berkode bandara sama yakni KUL. Namun keduanya berjauhan. 


Dan pesawat pun mendarat… Hati ini tak seberdebar seperti dahulu kala. Kali ini, biasa saja… Permainan sentimentil membawa saya ke pengalaman memanggil masa lalu. Akhirnya, saya bisa menjejakkan kaki lagi di sini (saya membatin). Inilah mancanegara pertama yang saya kunjungi dan berhasil yang saya datangi untuk kedua kalinya. Setelah mengaktifkan nomor ponsel kembali, ternyata ada sms masuk dari teman segrup perjalanan yang sudah tiba duluan. Isinya, kami dijemput oleh “bapak” kami di sana yakni dosen sekaligus koordinator program waktu itu. Thx 4 everything, Bapak...

Walau semalam, semua terasa lebih cepat dari semestinya. Saya tak perlu beradaptasi. Perasaan saya, lingkungan di sana sudah menjadi bagian hidup yang tak asing lagi. Benar juga apa kata orang jika sekarang-sekarang ini pergi ke negara-negara tetangga tak banyak bedanya dengan pergi ke luar kota. Tiket murah bertebaran, izin imigrasi penuh kemudahan, akomodasi pun banyak pilihan. 

Sepagian mengitari kampus yang mana dulu kami pernah menjadi bagian darinya. Napak tilas, benar-benar rute yang kami pilih merupakan napak tilas. Dari asrama kampus sampai dengan ruang kuliah. Di tengah perjalanan, kami sengaja mengambil foto berlatar papan nama kampus: Universiti Malaya. Dulu, angka di bawahnya bertuliskan 2007. Sekarang 2013. Sambil mengobrolkan memori kejadian-kejadian jenaka di masa lampau, nuansa nostalgia pun tercipta. Yah, sebagai pelengkapnya… Saya pesan es teh tarik (Malay: teh ais, dibaca: ti ais), minuman-umum favorit saya selama di sana. 

Kuala Lumpur, tetap memesona. Sekarang saya sudah sampai pada titik yang tak terlalu gatal membanding-bandingkannya dengan Jakarta. Saya nikmati dan syukuri saja semuanya. Setelah ini, saatnya saya mulai petualangan baru ke negara-negara lainnya. Menemui teman-teman lama… [29/01/13]

Senin, 28 Januari 2013

Almanak: 3-7-6

Tiket promo berantai sudah dibayar. Di tahap ini, untuk pertama kalinya saya menumpang kartu kredit milik saudara ipar tuk rampungkan transaksi. Baru tahu betapa fleksibelnya kartu ajaib berlogo Visa atau Master Card ini, membuat saya kepingin punya satu. Rencana perjalanan—yang dibahasakerenkan Inggris jadi itinerary—mulai dimatangkan. Saya suka sekali bagian receh proses awal ini. Satu aktivitas serupa riset kecil yang menuntut kita agungkan asas efektif dan efisien. Sebagai pelancong beranggaran rendah, itinerary bisa jadi kitab suci. Sumber dan referensinya bisa beragam. Blog, situs internet turistik, googling sembarangan, bahkan buku pelajaran sekolah. Tinggal tentukan saja tema tur kita apa dan obyek apa saja yang dimungkinkan terkunjungi sekalian. 

Menuliskan rencana di atas lembaran data berbasis .doc sungguh mudah adanya. Tinggal dicemplung-cemplungkan semua, apapun yang dimau. Saya sadar, eksekusi di lapangan pastinya bakalan temui penyesuaian atau hambatan. Saat kita mengetik deretan nama asing tujuan wisata di layar monitor, belum terbayangkan apakah energi dan waktu kita akan cukup untuk menghajar semua obyek kunjungan itu? Itu urusan belakangan. Percaya saja, sekali kita bawa itinerary maka timbul dengan sendirinya tuntutan diri semacam obligasi-rencana-tur yang dirasa mesti dilunasi. Kalaupun nantinya tak bakal lunas, pastilah itu pilihan teroptimal. Mmm… Belum kita langkahkan kaki ke luar rumah menuju bandara sembari pamitan mencium tangan ortu di hari-H saja sudah berasa sensasi hebohnya. Tukar uang, bawa bekal suplemen, mengepak irit sandangan… jadi contoh kegiatan khas jelang bepergian.

Kali ini pilihan grup-perjalanan saya yakni ke 3 negara dalam 7 hari 6 malam, dengan porsi sbb.: Malaysia (KL, semalam), Kamboja (Siem Reap dan Phnom Penh, 4 hari 3 malam), dan Vietnam (Ho Chi Minh City, 3 hari 2 malam). Kami bertiga dari Indonesia merupakan sekawanan partisipan salah satu program pertukaran mahasiswa Asia Tenggara di Universiti Malaya pada 2007. Saya bersyukur, hubungan kami masih terjaga hingga hampir 6 tahun lamanya. Ketiga negara tujuan itu pun secara tak langsung berkaitan dengan program itu. Selain pilihan trip hore-hore khas turistik, kami sekalian menjaga silaturahim lewat pertemuan dengan koordinator dan beberapa alumnus program tadi. Setelah tiket di tangan dan akomodasi dipesan, sengaja kami unggah rencana penuh mimpi ini ke milis program. Tujuannya mengundang teman-teman yang berpotensi bisa kami temui di masing-masing negara tujuan. Alhasil, ada yang konfirmasi bisa menyelakan diri temui kami! Alhamdulillah…

Dua bulananlah waktu penantian antara pembelian tiket promo dan waktu terbang. Selama itu pula kami bertiga gedebag-gedebug menggali informasi dan rembugan meski terpisahkan jarak. Hingga menjelang saatnya terbang, rencana kami cukup tersusun rapi dan manis. Skenario yang cukup menjanjikan. Padat dan menawan. Kami bertiga membagi tugas satu sama lain, semua berjalan lancar. Ini permainan tim yang asyik, tak kalah dari permainan Barcelona. Tiba-tiba, saya membayangkan andai saja ada satu mata pelajaran SD yang latihannya menugaskan siswa/i membuat itinerary. Pasti bakal menarik dan menyenangkan, karena lewat aktivitas ini kita bisa membayangkan impian di depan sambil belajar menyusun strategi lewat riset empirik. 

Tak terasa… minggu perjalanan itu kian mendekat. Urusan cuti kantor sukses didapat. Lega rasanya. Tabungan pun siap ditukar dengan investasi lain bernama pengalaman berencana… Semoga sehat, semoga sehat, semoga sehat. Itu harapan saya setiap kali akan melancong. [28/01/13]

Kamis, 17 Januari 2013

Resensi Film: The Impossible (2012)

Pilu selalu menempel di atas permukaan cawan bernama musibah. Liburan yang sejatinya jadi hiburan pelepas rutinitas tak disangka membawa petaka. Itulah pengalaman suatu keluarga yang diangkat menjadi plot berdasarkan kisah nyata dalam film ini. Mereka sedang rayakan malam natal di salah satu resor wisata di Thailand pada 2004. Tentu masih kita ingat peristiwa tragis mematikan apa yang terjadi di pengujung tahun itu. Tragedi tsunami di Samudra Hindia.

Mereka datang berlima. Si ayah (Ewan McGregor) seorang eksekutif muda, si ibu (Naomi Watts) seorang dokter muda yang sementara henti bertugas atas nama karier si suami, dan tiga putera sehat. Mereka cerminkan sebuah keluarga bahagia dengan sedikit percikan tak berarti. Ketika tsunami menyapu porak-porandakan kawasan tempat mereka bervakansi, sekejap saja pegangan hangat tangan di antara mereka terlepas, terpisah, terhempaskan oleh gulungan bah raksasa dari lautan biru. Area pesisir indah itu kini berisi lautan air bah deras perusak segala. Di mana si ayah, si ibu, dan ketiga puteranya?

Apa yang selalu diharapkan dari sebuah film berlatar musibah adalah penguras air mata atau film takziah. Tapi, saya tegaskan di sini Impossible bukan kacangan. Ketika kita menyaksikan adegan Naomi Watts muncul di atas permukaan bah sambil berpegangan di satu pohon kelapa dan berteriak… Hati saya lumpuh. Itulah potret sempurna ketika emosi jiwa tak tertahankan lagi, mendorong secara otomatis teriakan membahana. Adegan saat tsunami menerjang adalah bagian krusial film ini. Setelahnya, kita akan dipertontonkan drama-drama kemanusiaan yang sebenarnya klise tapi dijamin bakal sejenak terlupakan segala kekliseannya. Meminjam istilah dari Roger Ebert, “lautan emosi” dari film ini membuat saya sempat termenung. Tak banyak film akhir-akhir ini yang kuat membuat hati tergerak, meski sedepa. [B/A] 17/01/13