Senin, 26 November 2012

Resensi Film: One Day (2011)

Satu film banyak kecupan bibir. Secara harfiah, begitulah film ini adanya. Silakan saja hitung berapa kali sepasang bibir mendarat di atas sepasang bibir lainnya di sini. Saya sebut, lewat olah plotnya One Day sebagai satu drama melodramatik berpola kaleidoskop dibingkai desain produksi cukup elegan. Namun sayangnya tak diikuti dengan penggarapannya. Diadaptasi dari sebuah novel, membuatnya terlihat semakin terbebani PR.

Kisah bermula ketika pada suatu dini hari (jelang subuh) lepas acara pesta wisuda-perpisahan sekolah, sepasang sahabat (cewek-cowok) tidur bersama. Mereka tak tahu betul apa dan bagaimana hubungan mereka. Hanya sebagai karibkah atau lebih dari itu. Pada saat itu belum jelas. Selang kejadian di hari itu, mereka masih berhubungan hingga sampai di tahun-tahun berikutnya terpisahkan oleh jarak. Mereka menjalani takdir karier dan cinta masing-masing. Namun entah mengapa, meski keduanya terpisahkan jarak selalu saja masing-masing memikirkan satu sama lain dan merasa nyaman jika sedang menjalin komunikasi walaupun hanya melalui karangan puisi dan cerita dari si cewek atau sapaan via kabel telepon dari si cowok. Pertanyaannya, apakah mereka bisa dan akan bersatu?

Saya akui, ini memang tipe naskah romantis memikat. Terlebih yang menunggu-nunggu adegan haru-biru. Susah mencari alasan untuk tak jatuh hati atau iba terhadap skenario jenis demikian. Namun, apa yang terjadi dalam One Day bagi saya agak kurang tertoleransi. Tragedi demi tragedi asmara silih berganti menyeruak. Saya hampir mau mengalah untuk makluminya mengingat set waktu plot film ini membentang sekitar 20-an tahun. Pastilah banyak hal yang terjadi selama 20 tahun berjalan, bukan? Yang membuat saya merasa kurang yakin dengan apa yang sedang ditonton adalah pengenalan watak masing-masing karakter. Belum sampai kenal betul sudah diberondong kejadian demi kejadian. Padahal kalau dilihat dari segi akting, sudah bisa saya bilang pas.

Film ini mengingatkan saya pada Jude (dibintangi Kate Winslet) yang juga tentang tragedi cinta. Bedanya, Jude (strada: Michael Winterbottom) digarap secara art-house. Penyuntingan lebih terkesan kasar, kurang  elegan, tapi mampu timbulkan benih pikatan emosional ke para penontonnya. Dalam skala perbandingan tema sejenis, One Day juga mengenangkan kembali pada dwilogi eksentrik Sunrise (Before Sunrise dan Before Sunset) yang dibintangi Ethan Hawke. Bagi saya jelas sekali jika film ini beda tipe. One Day lebih kress… tapi kurang jlebh. [C+] 25/11/12

Minggu, 11 November 2012

Resensi Film: Skyfall (2012)


Produksi film ini sempat tersendat karena alami fase tanpa kepastian terkait finansial. Bukan itu yang membuat saya menaruh cukup perhatian pada keluaran seri Bond terakhir ini, melainkan dari sisi nama si pembesut. Sam Mendes (American Beauty), salah satu strada favorit saya, tercatat memegang rekor sebagai peraih Oscar pertama yang mengambil alih kursi strada serial waralaba James Bond. Karakter spion MI6 kreasi Ian Fleming ini telah diperankan banyak aktor. Mulai dari Sean Connnery, Roger Moore, Pierce Brosnan, hingga yang paling akhir dan masih saja diperbincangkan disuka-bencinya yakni Daniel Craig.


Saya sebelumnya terlalu banyak membaca ulasan-ulasan tentang Skyfall. Sampai-sampai, plot detail pun sudah terbayangkan sebelum menonton secara langsung filmnya. Saya sesali hal ini. Selain menyesal, saya masih menaruh kekecewaan sedalam-dalamnya pada para peresensi yang merusak kejutan plot lewat tulisan mereka walau mengatasnamakan alasan apapun. Sinopsis film ini dari saya hanya sekelumit. Di Skyfall, operasi perebutan hardisk data milik MI6—yang dicuri oleh agen misterius—gagal. Bond tertembak. Tak lama dari kejadian itu, Bos Bond, M, dapat ancaman serius dari musuh misterius nan licin. Cukup, sekian saja sinopsis dari saya.

Durasi film yang dua jam lebih, sedikit memaksa saya harus kuat tahan buang air kecil. Emoh tinggalkan bangku bioskop barang sejenak karena tak ingin melewatkan seadegan pun. Menurut saya, plot mengalir konsisten. Tak begitu kuat, tak juga kendur, tapi stabil. Format plotnya ibarat sebuah konsep album musik yang memasang irama lagu bergantian, dari tempo mayor, lalu ke minus, masuk mayor lagi, kemudian minor, dst. Jadi meskipun ide cerita Skyfall pada dasarnya sederhana dan cenderung unik, tanpa letupan dan pleonasme drama humanis menghenyakkan seperti dalam The Dark Knight, namun seri Bond ke-23 ini memegang dalam perkara plot. Kata si strada dalam sebuah sesi wawancara, untuk hal ini mereka diuntungkan oleh terkatung-katungnya status proyek sehingga ia dan tim penulis skenario lebih leluasa membangun skenario.

Kegemilangan film ini lebih terletak pada lini perlensaan alias sinematografi. Roger Deakins (pernah bekerja sama dengan Sam Mendes sebelumnya dalam Jarhead dan Revolutionary Road) memoles kanvas tanpa cacat. Lihat saja adegan-adegan set di Shanghai. Ada pula yang menarik dengan desain produksi pembuka film pencantum nama-nama tim produksi film khas film seri Bond. Selain diselingi lantunan renyah dari Adele yang sudah agak jamak terdengar di stasiun radio, grafis animasinya nampak cocok sekali dengan nuansa dan ritme lagu. Hal lain yang saya tunggu-tunggu unjuk giginya adalah aransemen musik langganan si strada, Thomas Newman, salah satu composer musik favorit saya. Tak bisa dibilang memancing perhatian secara parsial memang, tapi cukuplah untuk tak jomplang dan cenderung mampu ikuti kualitas cum laude tiap sorot gambar kreasi Deakins.

Kelas akting para pemeran Skyfall melampaui standar skala film laris ala kacang blockbuster. Di sini ada Javier Bardem berperan sebagai lawan Bond yang paling kencang bunyikan klakson. Ia perankan karakter androgini, berkejiwaan kombinasi antara Joker dan si kanibal Hannibal Lector, bernama Silva. Penampilannya memang tak lama, tapi sekali tampil… beuh, santai-diam-menghanyutkan. Kalau tim juri festival atau acara apresiasi film macam Academy Awards tak jaga gengsi, maka saya rasa Bardem layak dipertimbangkan masuk nomine aktor pendukung terbaik mendampingi Deakins untuk kandidat nomine sinematografi terbaik. Selain Bardem, semua pemeran ibaratnya berhasil puaskan produser. Tak ada yang makan gaji buta. Sekalipun para gadis Bond.

Dengan minimnya adegan seks, aksi tak dominan, dan tanpa ide dasar skenario spektakuler, Skyfall membuat saya merasa janggal. Ia berbeda. Drama diseret lebih mendalam khas karya-karya Mendes. Ia tekankan pada personalitas Bond. Bagaimana interaksi maternalistiknya dengan M dan riwayat hidupnya. Inilah yang membuat saya yakin bahwa Skyfall sebagai edisi khusus, bukan seri reguler. Bukan lanjutan dua film peranan Craig sebelumnya (Casino Royale dan Quantum of Solace). Menyaksikan Skyfall menjadi cara sempurna rayakan ultah emas perfilman Bond. Acara pestanya benar-benar ditangani secara matang. Mangga potong kuenya, Tuan Bond! [A-] 11/11/12

Jumat, 09 November 2012

Resensi Film: Tanah Surga... Katanya (2012)

Isu nasionalisme di tengah masyarakat Indonesia bakal tak ada habisnya. Setidaknya hingga saat ini. Mempertanyakan ulang makna paham kebangsaan itu, dengan segala hal terkaitnya. Kali ini ada satu judul film gres yang siap meramaikan blantika perfilman nasional, Tanah Surga… Katanya. Awalnya saya pikir film ini karya Deddy Mizwar, ternyata bukan, mengingat domain film kritik sosial ihwal nasionalisme selama ini didominasi beliau.

Lewat kehidupan di salah satu sudut Kalimantan Barat perbatasan negara Indonesia-Malaysia, Tanah coba mengangkat tema nasionalisme secara miniaturistik. Melalui sebuah keluarga sederhana, penonton dipertunjukkan interaksi langsung warga di perbatasan dua negara. Ada kakek sakit-sakitan pemendam dan pengobar semangat kebangsaan, putera yang tergiur berpaling ke negeri jiran, dan dua cucu yang terombang-ambing di antara perbedaan visi kakek-ayah. Materi sederhana ini, bagi saya, sudah cukup untuk menjadi premis sebuah karya film.

Amat disayangkan, kesederhaan yang saya sebut di atas agak dikoyak-koyak oleh tebaran beberapa subplot pengganggu. Sebut saja salah satunya, kisah cinta monyet (baca: tempelan). Film ini memang kalah jauh menggelegar ketimbang Alangkah Lucunya (Negeri ini), tapi rasa nasionalisme tetap tersampaikan. Simak saja adegan ketika Lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan. Meski tak menggetarkan, namun tetap menyadarkan kita. Dalam artian, kita akan merasa bagaimana selama ini kita lebih sering menyia-nyiakan momen khidmat itu.

Kalau dikatakan “bagus solid”, Tanah belumlah… tapi untuk ungkapan “cukup bagus”, lebih paslah. Seandainya saja sinematografi film ini dikemas secara lebih realis dengan teknik handheld ala Eliana, eliana. Saya bisa bayangkan, sensasionalitas Tanah akan naik kelas. [B-] 09/11/12

Senin, 05 November 2012

Resensi Film: The Amazing Spider-Man (2012)

Selamat tinggal Tobey dan Kirsten… Kalian telah mengatamkan trilogi Spider-Man besutan Sam Raimi. Yang dulu saya pernah sempat apriori, namun setelah menonton langsung ternyata hasilnya cukup menakjubkan. Sekarang, ada lagi versi lain yang tiba memasang kata amazing. Seberapa amazing­-kah koleksi kali ini? Semua tak ada yang sama. Posisi strada dipegang Marc Webb yang termahsyur dengan karyanya (500) Days of Summer. Pasangan Peter dan Mary diperankan Andrew Garfield dan Emma Stone. Mmm… dengan begini pasti urusan banding-membandingkan akan lebih asyik dikaji.

Sejak pembuka film bergulir, saya langsung merasakan sinematografi Amazing yang kental bernuansa film-film ala remaja. Apa?! Dalam hati, saya nggerundel kenapa Webb memilih eksekusi demikian. Sayang sekali… Ya sudahlah, saya lanjutkan. Plot Amazing tak berbeda dengan awal-mula Spider-Man. Seketika saya berpikir, ini hanya beda casing saja. Mungkin penggemar komik Spider-Man akan lebih paham untuk hal ini. Lambat laun, saya mulai menyadari kalau Webb memang sengaja membuat sesuatu yang lain supaya tak terjebak menyalin-tempel atau membuat parafrase atas formula Sam Raimi. Apakah itu? Penawaran utamanya adalah Webb menggelindingkan alur secara lebih alamiah nan realistis serta menurunkan kandungan bombastis.

Di atas itu semua, secara umum saya tak bisa dan tak mau membanding-bandingkan antara karya Raimi dan Webb. Amazing bukanlah sebuah adaptasi komikal. Ia interpretasi lain dan berbeda dari milik Raimi. Saya menangkap, Webb sedikit keteteran imbangi hegemoni trilogi karya Raimi yang sudah mapan dan laris-manis. Kalau ini ibarat sebuah tim sepak bola dalam sebuah kompetisi liga, maka bayangkan saja jika pada peralihan musim kompetisi Manchester United (MU) tak lagi dilatih Sir Fergie dan para pemainnya pun berubah total. [B-] 05/11/12