Rabu, 31 Oktober 2012

Resensi Film: Ruby Sparks (2012)

Apa jadinya jika kita sebagai seorang penulis buku—muda, kualitas diakui, sedang dirundung galau kasmaran karena ditinggal kekasih—tiba-tiba kemunculan secara nyata seorang gadis yang menjadi karakter fiksi dalam buku yang sedang ditulis? Kita akan kaget setengah mati, bukan? Bingung, apakah kita kurang waras lantas berhalusinasi atau bagaimana?

Itulah ide pemantik yang ditawarkan Ruby. Digarap oleh kreator Little Miss Sunshine, film ini tampil lebih sederhana berlingkup kecil. Saya bilang, intensitas plot Ruby cukup kendur. Bagi sebagian kalangan penonton, akan sangat dimungkinkan meninggalkan tontonan sebelum tuntas. Pengalaman saya sendiri ketika menontonnya pun termasuk sudah cukup saya telaten-telatenkan.

Apa yang membuat saya ingin menghargai film ini adalah rasa ingin tahu bagaimana akhir dari skenario dikupas. Sederhananya seperti ini, ada karakter fiksi yang mendadak eksis dalam kehidupan nyata. Lalu apakah perannya, bagaimana dinamika hubungan antara penulis dan karakter kreasinya, juga yang tak kalah penting… Akankah kisah ini menjadi hal cukup surreal, ataukah konyol, atau malah logis.

Kalau saya tarik simpulan, sebenarnya titik beratnya bukanlah permainan tebak-menebak cerita. Lebih kepada mendiskusikan keseimbangan hubungan/interaksi sosial atas nama cinta. Namun sayangnya, saya kurang berhasil digaet oleh Ruby. Ia masih kalah agresif nan persuasifnya Eternal Sunshine of the Spotless Mind juga (500) Days of Summer.

Dari permulaan nan santai, Ruby berangsur masuk serius dan lebih serius lagi. Rolerkoster drama agak komedi hitam ini mengingatkan saya pada sensasi American Beauty. Meski tanpa cetak tebal. [B-] 31/10/12

Sabtu, 27 Oktober 2012

Resensi Film: The Hunger Games (2012)

Ada perasaan ragu sebelum menonton film ini seraya bergumam… “plis, plis, semoga ini film tak membuang-buang waktu”. Prolog film tak sepenuhnya membantu saya pahami isi film secara lebih awal, karena tak dinyatakan dimana dan kapan set berlangsung. Tapi mudah saja ganjalan ini terlupakan, ketika saya coba masuki karakter utama film ini karena memang secara terang-terangan perspektif yang diangkat film ini hanya melalui satu sudut pandang, yakni si pemeran utama. Seorang gadis pemberani dari keluarga berlatar belakang sederhana.

Dia terjebak dalam suatu kehidupan bernegara yang menyisakan trauma akan protes dari rakyatnya di masa lalu. Lantas demikian, pemerintah menciptakan acara represif tahunan bernama Hunger Games guna memberi “pelajaran” kepada rakyat supaya tak mengalirkan demonstrasi. Ajang ini tak bedanya sebuah permainan berdarah. Sejumlah 12 distrik wajib berpartisipasi tiap tahunnya, lewat mekanisme undian ditentukanlah perwakilan remaja putera dan puteri rentang belasan tahun dari masing-masing distrik sebagai peserta yang bakal menghadapi kompetisi berujung maut. Mereka diadu satu sama lain hingga mati sampai tersisa seorang pemenang.

Cukup. Melalui titik ini saja, kita sebagai penonton sudah menangkap aroma nilai-nilai ide revolusioner dalam plot besar Hunger. Sepintas akan mengingatkan kita pada V for Vendetta dan film-film sejenisnya. Seketika saja saya bahkan sampai membayangkan bahwa Hunger Games sendiri merupakan sebuah metafora atas koloseum. Dunia kontes penuh nilai kompetisi yang memperlihatkan kesusahan kaum jelata namun membuat sebagian penonton borjuis kegirangan. Spesialnya, film ini tak nampak mau muluk-muluk. Ia menekurkan diri sebagai film remaja dengan segala kisah merah jambunya. Ajaibnya lagi, meski kisah cintrong bukan menjadi fokus utama di dalamnya namun rasa itu tersampaikan. Alamak…

Walaupun saya belum membaca bukunya, saya tebak bahwa film hasil adaptasi ini sukses menjaga martabat. Kapan lagi kita bisa menikmati film kriuk cepat saji bernutrisikan antioksidan berlabel organik. [B+] 26/10/12

Resensi Film: Boogie Nights (1997)


Anda doyan nonton bokep? Kalau iya, mungkin Boogie bisa dipertimbangkan buat ditonton. Namun masih ada syarat lain selain berhobi nonton film “unyil” supaya bisa menikmati film ini, yakni suka drama. Kalau Anda benci drama dan tidak sabaran, saya anjurkan untuk membuang jauh-jauh Boogie. Film ini membuat kita terisap dalam gurun pasir lika-liku emosi di balik roda industri film dewasa.

Kalau Anda familiar dengan karya strada P.T. Anderson, maka Boogie bukan menjadi suatu masalah. Ia hampir persis Magnolia, baik secara teknik penggarapan maupun jajaran nama pemerannya. Hanya saja di sini kurang meledak-ledak. Semua berjalan mulus. Seiring mulusnya jalan plot ini, malah membuat saya sedikit eneg karena durasinya terlampau menjenuhkan yakni 2,5 jam.

Saya pribadi memang memendam rasa penasaran tersendiri dengan hal-hal di balik pembuatan film esek-esek. Nah, Boogie merupakan paket lengkap kunci jawaban soal bagi saya. Ia membeberkan mulai dari hal-hal yang sangat awal semisal bagaimana seorang produser mencari “kuda-kuda liar”-nya. Hingga sampai pada taraf konflik dramatis semisal diskriminasi yang diterima oleh kalangan penggiat dunia hiburan haram ini.

Lewat tulisan ini, saya takkan memakai kacamata agama. Di atas tema yang dipilih, film ini memiliki kekuatan di mana mampu menjelaskan latar belakang “terjerumusnya” orang-orang itu ke dalam lembah lewat batas melalui kualitas akting yang rata-rata di atas rata-rata. Ketika menyaksikan adegan pengambilan gambar adegan intim, yang mana sepasang pemeran sedang “berolah raga” sambil dikerubuti kru teknis, pun sempat membuat saya clegukan. Saya bilang, Boogie cukup terbilang sopanlah. Pesan saya, hati-hati dengan bingkai terakhir adegan film karena akan ada beberapa (tipe) penonton yang bisa terkejutkan olehnya. [B] 26/10/12

Senin, 15 Oktober 2012

Resensi Film: The Cabin in the Woods (2012)

Lama saya tak menikmati film tegang (tanpa tanda kutip). Judul film ini saya dapatkan lewat rekomendasi teman dan sekilas membaca hasil konsensus kritikus film. Terakhir saya menyaksikan film berintensitas tinggi mungkin The Raid: Redemption. Itu pun tak bersinggungan dengan hantu-hantuan. Kali ini saya menyiapkan diri untuk cicipi sensasi deg-deg-ser sedikit-sedikit buang pandangan. Setidaknya itu bayangan saya sebelum memutar The Cabin.

Saya temui kesulitan menuliskan sinopsis film ini karena tak ingin menghancurkan unsur kejutannya. Tahu sendiri, film horor yang paling bisa dibanggakan ya dari segi kagetan-kejutannya. Begini saja, terkisahlah sekelompok remaja yang menghabiskan suatu akhir pekan mereka di sebuah gubug terpencil. Mereka belum pernah ke sana sebelumnya, dan tak disangka-sangka petualangan demi petualangan “mengerikan” bakal mereka dapatkan di sana.

Percayalah, kalau sinopsis yang saya paparkan di atas terlalu sederhana dan masih ada ide besar lagi yang membungkusnya. Nah, ide inilah yang membuat sebagian besar kritikus film dan penggila film horor dibuat terkesima oleh The Cabin. Saya ibaratkan bahwa ide tersebut yakni kawinan The Truman Show dengan Zombieland (minus kandungan humor). Seperempat kedua bagian film, saya cukup tertegangkan dengan prasangka dan dugaan yang aneh-aneh. Namun setelah pertengahan film, saya mulai tak paham bagaimana cara nikmati kejutan demi kejutannya.

Hingga pada saatnya saya menyadari bahwa film ini menawarkan sesuatu yang baru dalam rekam jejak genre horor. Saya apresiasi atas hal ini. Namun, masih ada tapinya dari saya. Bagi saya, film horor terlanjur dianggap menaruh perhatian utama di adegan kejutan dan ending atau klimaks yang menyesakkan. Dan The Cabin lumayan kurang mewakili pernyataan tersebut. Kalau saya ditanya, “apakah The Cabin merupakan film thriller ala wiken remaja berskenario inovatif?” maka saya jawab, “100%, iya!” [B] 15/10/2012           
    

Kamis, 11 Oktober 2012

Resensi Film: K vs K - Kita Versus Korupsi (2012)

Empat film cerita pendek, dirangkum dalam 1 film, bertemakan korupsi, persembahan KPK cs. Tak ada yang luar biasa, macam versi panjangnya iklan satir produsen rokok. Minim joke, kurang simple. Saya rasa, kita sebagai WNI sudah cukup kebal dengan sentuhan kisah-kisah dalam film ini. Dosisnya perlu ditambah. Saya membayangkan seandainya saja salah satu film pendek dalam film ini bisa mendeskripsikan moment of truth di salah satu pojok layanan pemerintah, baik yang bersih maupun yang kotor. [C+] 11/10/12

Selasa, 09 Oktober 2012

Resensi Film: Moonrise Kingdom (2012)

Hore… ada film bocah pilihan buat ditonton. Eits, nanti dulu. Hanya karena Moonrise Kingdom didominasi oleh karakter anak-anak, bukan berarti tingkat pangsa pasarnya kalangan anak juga. Belum lagi kita tahu catatan penyutradaraan Wes Anderson yang sempat memproduksi Fantastic Mr. Fox. Kalau Anda sudah pernah menonton film animasi Fantastic, maka Moonrise bisa dikatakan sebagai versi manusianya. Resep racikannya hampir mirip. Nah loh!

Tak perlu resah, tak perlu gundah. Ini macam film petualangan bocah-bocah juga walaupun beda jenis dengan Petualangan Sherina. Kisahnya tentang dua bocah anomali cewek-cowok yang tak cukup mampu berdamai dengan lingkungan sekitar, setnya berlokasi di sebuah kawasan pulau terpencil. Si cowok melarikan diri dari regu pramukanya, sedang si cewek minggat dari rumah. Semua dilakukan secara diam-diam, tak ada yang tahu. Mereka bertemu dan meresmikan rasa cinta satu sama lain… Ya elah, film bocah segini dewasanya (gumam saya).

Sejak ide itulah, saya langsung menyesuaikan diri untuk tak terlalu berharap bahwa ini bukan film keluarga musim liburan. Di samping juga banyak beterbangan kata “umpatan mukjizat” terlontar dari mulut bocah-bocah di dalamnya. Walaupun ini bukan naskah hasil adaptasi, namun saya merasa sangat terinsipirasi oleh karya Roald Dahl (Charlie and the Chocolate Factory), menampilkan kerumitan masalah orang dewasa lewat figur bocah tanpa proses penyederhanaan.

Durasi sangat bersahabat, yakni 1,5 jam. Desain produksi chibi-chibi. Sinematografi lumayan sedap dipandang. Cerita tak susah-susah dicerna. Musik gubahan si produktif Alexander Desplat cukup nyaman didengar. Akting, yah sedang-sedang sajalah. Minimal ada banyak bintang besar di dalamnya (Bruce Wilis, Edward Norton, Bill Murray, dll). Bagi saya, yang kurang adalah efek dramatisasi. Ini lebih menyerupai film kelam yang dikemas ala buku dongeng anak-anak. Nampak jelas sekali Moonrise bukan film bagi penonton bermental kanak-kanak. [B] 09/10/12