Baru dengar nama dia lewat bacaan komik Jepang kreasi Detektif
Conan pada masa akhir 1990-an. Selang satu dekade lebih kemudian, saya dapati
karakternya lewat sebuah film adaptasi arahan strada Guy Ritchie. Awalnya saya
penuh ragu menonton film ini karena reputasi si strada yang labil, kadang
dipuja dan tak jarang dibantai oleh para pengulas film. Tak pernah ada yang
dominan terpuaskan oleh karya Guy Ritchie. Tapi anehnya, dia bisa terkenal!
Saya akui, inilah pertama
kalinya saya nonton film produksi Guy Ritchie, mumpung saya juga sedang ingin
mengenal lebih mendalam karakter fiksi detektif Inggris bernama Sherlock Holmes
kreasi Sir Arthur Conan Doyle. Bukaan filmnya cukup kosmetikal, logo-logo
distributor film ditampilkan berpola bebatuan alam jalanan London era
pertengahan akhir (saya pikir). Lumayan menarik, gumam saya. Lalu penonton
diajak mengintip kejadian penting bertempo agak cepat. Di situlah kita disuguhi
sajian pembuka yang mana memberitahukan kepada kita kalau kasus yang harus dipecahkan
Sherlock kali ini adalah menghadapi seorang cenayang misterius—suatu hal yang
sangat bertolak belakang dengan prinsip logis Sherlock.
Sebuah pilihan tepat, menurut
saya. Mengingat adaptasi plot kisah masih memilih untuk berlatar London era
pertengahan akhir, bukan menggesernya ke era yang lebih modern. Sebenarnya
sah-sah saja jika mau mengadaptasi ke masa yang berbeda. Prinsip logika
dipertemukan dengan prinsip supranatural. Sherlock melawan cenayang penuh tipu
muslihat. Terbayang kan bagaimana gatalnya rasa penasaran Sherlock ketika harus
menghadapai kasus yang oleh kebanyakan orang dipercaya terjadi karena dorongan
magis. Sherlock punya PR besar untuk melogikakan kejadian itu.
Sherlock tak sendirian, ia
punya partner yang merupakan seorang dokter bernama Watson. Mereka pasangan benci-rindu.
Walaupun nempel terus tapi yah bukan pasangan maho-lah… Berdua diperankan
secara yahut dan berhasil membuahkan interpretasi kuat oleh Robert Downey Jr.
dan Jude Law. Sherlock menjadi sosok detektif tajam tapi berperilaku sama
sekali tak berwibawa, kadang gontai, tapi maskulin, moody, namun tahu kapan
saat bertindak. Sedangkan Watson, meski maunya tobat berhubungan dengan
Sherlock, namun ia tak bisa lepas darinya. Sebuah ikatan kimiawi nan kompleks. Mmm,
katakanlah mereka mengandung unsur simbiosis mutualisme.
Menyimak kisah teka-teki,
tentu tak hanya berbatas pada penyajian, perumusan, dan penyelesaian perkara.
Penikmatnya senantiasa dipancing menerka-nerka sesuai kemampuan ala detektif
masing-masing… Namun, entah mengapa dalam film ini saya tak berhasil terpancing.
Saya memandang demikian karena penonton terlampau diberi banyak petunjuk dengan
ritme plot yang cukup tergesa untuk ukuran film detektif. Saya merasanya
sekasus dengan The Girl with the Dragon Tattoo arahan David Fincher. Saya
terlanjur lebih terpikat pada sensasi sinematis dan pemeranan di beberapa
bagian. Kadung terbawa dan lupa untuk ikut-ikutan menebak trik perkara.
Di atas itu semua, saya lihat
tafsiran Guy Ritchie cukup menarik. Di luar prasangka saya sebelumnya. Dibuat
olehnya sebuah film detektif yang jenaka, bergaya, sekaligus gelap secara
bersamaan. [B] 25/09/12