Rabu, 29 Agustus 2012

Resensi Film: The Girl with the Dragon Tattoo (2011)

Mau mengimani naskah asli atau disesuaikan dengan keinginan atau ego sendiri memang jadi pilihan mutlak strada dalam mengeksekusi sebuah karya adaptasi novel. Saya merasanya David Fincher pilih opsi pertama saat menyelesaikan film ini. Merasa saja karena saya belum membaca novelnya. Sebuah sajian di samping enak tentu ditunggu-tunggu kejutan atau penawaran lainnya supaya bisa diobrolkan. Begini saja, saya katakana sejak awal… film ini main course-nya hampir ditelan dessert-nya.

Saya agak kurang terkena dengan judul film ini atau bahkan novelnya jika memang pemaparannya seperti yang saya tonton, mengingat sudut pandang atau fokus utamanya bukan pada Si Gadis Bertato Naga. Kasihan, porsi tampilnya kurang proporsional. Terlalu banyak karakter yang diajak berdiskusi dalam sebuah forum kisah detektif tentang pencarian berpuluh-puluh tahun musabab hilangnya seorang gadis ini. Sebut saja ada dua plot utama berjalan seiring: (1) jurnalis—diperankan oleh Daniel Craig—sedang terlilit tuntutan bernilai besar dan (2) sepak terjang Gadis Bertato Naga. Selain itu, pembagian silih berganti sudut pandang masih ditambah lagi dengan kerumitan silsilah keluarga besar sumber kasus. Bagi saya, menonton film ini jika mau mengenal detail satu per satu karakter tak cukup hanya sekali menonton. Namun sayangnya, saya sudah enggan jika diminta mengulangnya.

Beginilah kisah besarnya. Sebuah keluarga kaya raya menyewa seorang jurnalis dan (akhirnya menyeret pula) asisten yakni seorang penelisik-bayaran handal berupa seorang Gadis Bertato Naga. Berdua memecahkan misteri hilangnya secara misterius salah seorang gadis anggota keluarga tajir itu berpuluh-puluh tahun silam. Penyelidikan sebelumnya nihil tuntas. Pun kiriman surat pesan dari yang mengindikasikan diri sebagai “pembunuh”-nya tetap berdatangan. Sebelum meninggal, si kakek keluarga kaya raya penyewa jasa investigasi ini ingin mengetahui siapa dalang semua itu.

Yah, sayang sekali sebenarnya tahu Fincher kurang berani membubuhkan atau beratraksi sedikit lewat film ini. Hasil reunion lagi kru Social Network lewat pengarah musiknya duo Nine Inch Nails (NIN) terasa sudah tak cukup ampuh lagi menyihir penonton. Malahan ketika melihat ada satu karakter dalam film yang memakai kaos NIN membuat saya sempat sedikit terganggu seperti tatkala menonton selingan iklan bank atau apalah dalam salah satu adegan film.

Saya kira, film ini biasa sajalah. Tak perlu digembor-gemborkan. Dua jam lebih sudah terlalu menambah penat, walau sebenarnya asyik juga menikmati fase penyelidikan di dalamnya. Montase dalam film cukup efektif. Bayangkan saja bila tak ada pengadaptasian yang dipercepat/diringkas secara baik dan efektif. Tetap, saya lebih merekomendasikan membaca bukunya saja. Mungkin jauh lebih memuaskan dengan segala detail karakter ala kisah detektifnya.

Meski “Naga”-nya tak nyemburkan api, Fincher masih menari lentik. [B] 26/08/12

Kamis, 16 Agustus 2012

Coretan: Persembahan untuk Mahasiswa Asing

"kalau aku sakit, tanggung jawab kalian gimana?"
kasus darurat akan kami fasilitasi
"siapa yang mengantar aku ke rumah sakit?"
ya, kamu sendiri bisa naik taksi atau minta bantuan kenalan
"di sini aku tidak punya teman"
makanya cari teman atau kenalan
"orang sini kenalan hanya karena pengen foto bareng saja,
buat gaya-gayaan saja bahwa mereka bisa kenalan sama bule"
ya udah, naik taksi aja sendirian
"kalau aku tidak punya uang?"
ya pinjam dulu
"kalau aku sekarat di kamar, terus tak ada yang peduli?"
I have no idea, Ms!

[Sleman, 16 Agustus 2012]
   

Selasa, 07 Agustus 2012

Resensi Film TV: Cinema Verite (2011)

Satu persembahan dari HBO. Sebuah film yang mengisahkan produksi film dokumenter realitas kehidupan rumah tangga satu keluarga Amerika era 1970-an. Menghadapkan kita pada fragmen-fragmen macam seberapa orisinilnya ide tersebut di kala itu, sejauh mana imbasnya pada rumah tangga keluarga yang bersangkutan, dan bagaimana reaksi masyarakat terhadap hasil karya produksinya. Memfilmkan kenyataan, itulah gagasan mendasar ide film dokumenter pertunjukan realitas. Tanpa perlu menyiapkan skenario mendetail, namun diperlukan konsep matang guna mengeksekusinya. Inilah bentuk lain dari penelitian partisipatif antroplogi.

Di sini yang mau menjadi “korban” bahan film dokumenter adalah keluarga Louds asal Santa Barbara yang tampak hangat, lumrah, dan bahagia dari luar. Si produser tertarik oleh kecerdasan si ibu rumah tangga yang diperankan oleh Diane Lane. Keluarga The Louds cukup subur, punya banyak anak dengan impian masing-masing nan beragam. Kedatangan produser film dalam kehidupan rumah tangga mereka guna memfilmkan kisah hidup keseharian bukan tidak sama sekali berdampak, malah “mengacaukan borok” yang selama ini terpendam rapat-rapat. Konsekuensi yang dihasilkan jauh di luar dugaan. Bukan hanya bagi kehidupan internal rumah tangga The Louds, namun juga bagi kru film dan publik penontonnya.

Saya rasa film ini memang berskala tontonan televisi. Tidak ada greget di dalamnya. Ia ingin menampilkan suguhan berkualitas tanpa bertendensi pada pencapaian khusus. Selama durasi, kita diberi ruang lega untuk berdialog pada diri sendiri sembari menanti apa-apa saja yang akan terjadi setelahnya walaupun memang untuk ukuran film berdasar kisah nyata film ini terlalu mudah ditebak. Wajar sebetulnya, tapi saya tak menangkap ada upaya lebih untuk memberi kejutan pada penonton. Hal yang paling saya apresiasi dalam film ini adalah casting yang klop dengan figur-figur sebenarnya. [C+] 04/08/12